19 Tahun dan Sebuah Persahabatan yang Tak Pernah Retak

Sahabat alumni duduk berdampingan dengan penuh nostalgia, mengingat awal mula persahabatan mereka sejak masa kuliah.

Aku tidak pernah menyangka bahwa pertemuan sederhana di tahun 2006 akan menjadi awal dari persahabatan yang begitu panjang dan bermakna. Saat itu, aku masih duduk di bangku kuliah, dan dia  sudah lebih dulu menapaki dunia profesional sebagai fotografer di sebuah perusahaan ternama di Bandung.

 

Perkenalan kami terjadi begitu saja, tanpa skenario besar. Dia sedang mendokumentasikan acara di kampus ku, dan aku hanya iseng berkomentar soal kameranya yang keren. Tanpa banyak basa-basi, dia langsung bilang, “Coba aja foto.” Dan yang membuatku terpukau, dia meminjamkan kamera Canon 1D Mark II dan lensa 50mm f/1.2  peralatan mahal yang biasanya hanya bisa aku lihat di etalase toko.

 

Dari momen itulah, hubungan kami mulai terjalin. Karena sama-sama berasal dari Bandung, kami sering bertemu. Aku belajar banyak tentang fotografi darinya, kadang diajak ikut job-nya, kadang hanya berbagi cerita. Hubungan kami seperti mentor dan murid, tapi lebih cair, lebih seperti sahabat.

Dua sahabat menikmati bir bersama di Bali, merayakan 19 tahun persahabatan yang penuh cerita dan tawa.

Hidup kemudian membawa kami ke Jakarta. Dia diterima bekerja di Kompas Gramedia Tabloid Nova, dan aku, meski hanya magang di Tabloid Cek & Ricek, tetap merasa ada teman seperjuangan di rantau. Kami bahkan sempat tinggal di tempat yang sama, meski beda kamar.

Saat magang ku selesai dan aku kembali ke Bangka untuk bekerja di Babelpos, dia tidak lupa padaku. Justru dia yang membuka jalan agar aku bisa kembali ke Jakarta dan bekerja di Kompas Gramedia. Lewat arahan dan dorongannya, aku mengikuti tes hingga dua kali bolak-balik Jakarta-Bangka. Sampai akhirnya aku diterima.

Kami akhirnya berada di kantor yang sama, bahkan satu desk fotografi. Persahabatan kami makin erat. Tapi seperti hidup yang penuh kejutan, aku harus melewati fase berat: dipecat dari pekerjaan yang kuanggap impian. Itu titik balik dalam hidupku.

Setelahnya aku pindah ke majalah lain sebagai editor. Meski tidak lagi serumah atau sekantor, hubungan kami tetap berjalan. Dia di Kebon Jeruk, aku di Kelapa Gading. Sampai akhirnya aku memutuskan untuk berhenti dari dunia media dan memulai petualangan keliling Nusantara. Anehnya, di tengah perjalanan yang acak itu, kami masih bertemu  di Gunung Kerinci dan Labuan Bajo. Kami merayakan persahabatan kami di tengah perjalanan yang tak disangka-sangka.

Dua sahabat sedang berkemas bersama, mempersiapkan perjalanan penuh kenangan setelah 19 tahun persahabatan.

Kemudian Bali jadi babak baru. Kami sama-sama merantau ke pulau dewata. Tinggal di Mambal sebagai bujangan yang masih mencari arah. Tapi waktu berjalan, aku memutuskan menikah dan pindah ke Ungasan. Dia tetap tinggal di Gianyar, dekat Ubud. Meski jarak memisahkan, rasa tetap tak berubah.

Dan kemarin, tanpa banyak kata, dia datang. Duduk di rumah kami, berbagi cerita, membuka hati. Aku melihat sisi lain dari dirinya  lebih jujur, lebih dewasa, lebih terbuka. Dia datang bukan sekadar berkunjung, tapi membawa kehangatan, membawa pelajaran, dan membawa inspirasi.

Dia membagikan ilmu, membagikan pengalaman, tanpa pamrih. Di situ aku sadar, persahabatan sejati bukan soal seberapa sering bertemu, tapi seberapa dalam kita peduli. Bahwa sahabat adalah cermin masa lalu dan lentera masa depan. Bersamanya aku belajar bahwa dalam perjalanan hidup, sahabat sejati adalah harta yang tak ternilai.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *