Di kejauhan, gunung berdiri dalam diamnya. Tidak banyak suara, tidak banyak gerak, hanya kabut yang sesekali turun menyelimuti lerengnya.
Namun di balik ketenangan itu, ada kehidupan yang berdenyut, ada panas yang terus bergejolak.
Gunung tampak pasrah, tapi sejatinya ia sedang menahan kekuatan besar. Ia tahu, setiap hal memiliki waktunya sendiri. Tidak ada letusan yang tergesa, tidak ada perubahan yang datang tanpa alasan.
Baca juga:
🔗 Hening Seperti Gunung Agung: Menggenggam Kekuatan Dalam Diam
Manusia, seperti gunung, seringkali menyimpan banyak hal dalam diam. Di balik wajah yang tampak tenang, ada badai kecil yang menunggu mereda. Kita menahan amarah, menata rasa, dan mengendapkan emosi yang belum sempat diucapkan.
Diam bukan berarti menyerah justru di sanalah proses pembentukan kekuatan berlangsung. Seperti magma yang mengumpulkan tekanan di bawah tanah, manusia juga mengumpulkan energi dalam keheningan.
Ketenangan bukan tentang tidak bergerak, tapi tentang memilih waktu yang tepat untuk melangkah.
Ketika gunung akhirnya meletus, dunia berguncang. Asap membumbung, tanah bergetar, dan langit berubah warna.
Tapi setelah semua itu reda, tanah menjadi subur, udara menjadi segar, dan kehidupan baru mulai tumbuh.
Begitu pula dalam kehidupan manusia. Ledakan emosi, tangisan, atau keberanian untuk mengambil langkah besar sering kali menjadi awal dari kebangkitan.
Kadang kita harus melepaskan segalanya, rasa takut, penyesalan, dan luka lama agar bisa menemukan diri yang baru. Ledakan bukan akhir, melainkan awal dari pembaruan.
Dalam dunia yang bising dan serba cepat, kesunyian menjadi anugerah langka. Saat kita berhenti sejenak, kita bisa mendengar suara batin sendiri, suara yang sering tenggelam oleh hiruk pikuk dunia luar.
Kesunyian adalah ruang untuk mengenal diri, memahami arah, dan memperkuat keyakinan. Ia seperti malam sebelum fajar gelap, namun menyimpan cahaya yang sedang bersiap muncul.
Baca juga:
🔗 Keheningan: Jalan Pulang ke Dalam Diri
Abu vulkanik yang turun mungkin tampak seperti kehancuran, namun sesungguhnya itu adalah benih kesuburan.
Alam tahu cara menyeimbangkan dirinya. Dari abu, tumbuh kehidupan baru dari luka, lahir kebijaksanaan.
Begitu pula manusia setelah melewati masa-masa berat, kita menjadi lebih kuat, lebih sadar, dan lebih siap menghadapi hari-hari berikutnya.
Gunung yang tenang tidak berarti mati, ia hanya menunggu waktu. Manusia yang diam tidak berarti lemah, ia hanya sedang belajar memahami dirinya sendiri.
Ketika waktunya tiba, biarlah “ledakan” itu terjadi bukan untuk menghancurkan, tapi untuk memperbarui.
Karena setelah badai, langit akan kembali biru. Setelah diam, hidup akan berbicara dengan cara yang lebih indah.
“Kesunyian bukan akhir dari perjalanan, melainkan awal dari kebangkitan.”