Pada masa mudanya, ibu ini dikenal luas karena keahliannya dalam dunia rias kecantikan Jawa.
Sentuhan tangannya begitu halus, perpaduan antara seni dan ketulusan hati. Ia bukan sekadar mempercantik wajah, tetapi juga menjaga nilai-nilai keanggunan dan kesopanan khas perempuan Jawa.
Tak heran jika namanya dikenal hingga ke kalangan keluarga pejabat. Setiap kali ada acara besar, banyak yang datang kepadanya karena percaya pada kualitas hasil riasannya.
Dari sanalah keberuntungan hidupnya mengalir hingga ia mampu memiliki beberapa aset berupa rumah dan tanah, hasil kerja keras bertahun-tahun tanpa meninggalkan akar budaya yang membentuk dirinya.
Bagi dirinya, masa itu adalah masa keemasan. Namun, di balik kesuksesan itu, ia tetap hidup dengan sederhana dan rendah hati.
Ia selalu percaya bahwa keberkahan hidup datang bukan semata dari harta, melainkan dari niat baik dan ketulusan dalam setiap karya.
Baca juga:
🔗 Hidup Seperti Bunga: Menjadi Indah, Memberi Kehidupan
Ketika usianya mulai senja, ia memutuskan untuk tinggal di sebuah rumah sederhana yang dibangun dengan hasil tangannya sendiri.
Di sanalah ia memilih menutup lembaran panjang kehidupannya yang penuh perjuangan. “Rumah ini saya bangun bukan untuk pamer, tapi untuk beristirahat dari segala yang sudah saya kerjakan,” ujarnya dengan senyum damai.
Rumah itu bukan sekadar tempat tinggal melainkan simbol kesederhanaan dan ketulusan hidup. Di sekitarnya, masyarakat sering mengadakan kegiatan budaya, dari latihan tari hingga pementasan seni tradisi.
Setiap kali melihat anak muda berlatih, matanya berbinar. Ia merasa seolah sebagian dari jiwanya ikut hidup di sana.
Baginya, dukungan terhadap ruang budaya itu adalah cara untuk menjaga napas tradisi yang ia cintai. Ia tak ingin warisan leluhur tenggelam oleh zaman.
Baca juga:
🔗 Perempuan Bali: Penjaga Harmoni di Balik Setiap Upacara Adat
Meskipun tak ada di antara anak-anaknya yang meneruskan profesinya sebagai perias kecantikan, pesan yang ia wariskan jauh lebih berarti.
Ia selalu berkata bahwa budaya dan tradisi adalah bagian dari moral dan etika kehidupan sesuatu yang wajib dijaga dan diteruskan.
“Saya lahir dan dibesarkan dalam adat serta tradisi Jawa. Harapan saya sederhana, semoga budaya ini tetap hidup, karena di dalamnya ada sopan santun, tata krama, dan nilai-nilai kehidupan,” tuturnya suatu hari.
Kini, setelah ia tiada, rumah sederhananya menjadi saksi bisu tentang perjalanan seorang ibu yang hidup dengan hati.
Orang-orang yang mengenalnya masih sering mengenang senyumnya yang menenangkan dan petuahnya yang lembut.
Baca juga:
🔗 Tentang Kesederhanaan dan Kebahagiaan
Ia telah pergi, namun warisan jiwanya tetap hidup dalam setiap doa anak-anaknya, dalam kenangan masyarakat sekitar, dan dalam semangat siapa pun yang mencintai budaya.
Ia mengajarkan bahwa hidup tidak harus megah untuk bermakna, dan bahwa kesederhanaan justru bisa menjadi bentuk kemuliaan tertinggi.
Dari rumah kecil di sudut desa itu, kita belajar satu hal bahwa cinta pada budaya dan tradisi adalah bentuk pengabdian yang tak mengenal usia.
Warisan terbesarnya bukanlah harta, tetapi nilai tentang bagaimana menjadi manusia yang tahu asal-usulnya, menghargai warisan leluhur, dan tetap rendah hati meski pernah berdiri di puncak kejayaan.
Kehidupan ibu itu menjadi cermin bahwa kemuliaan sejati tidak selalu lahir dari kemewahan, tetapi dari hati yang tulus dan kesetiaan pada nilai-nilai kehidupan.
Dalam kesederhanaannya, ia mengajarkan bahwa kebahagiaan bukan tentang apa yang dimiliki, melainkan tentang bagaimana kita mensyukuri dan menjaga apa yang sudah diberikan.
Kini, meski jasadnya telah tiada, semangat dan pesan hidupnya tetap hadir mengalir dalam kenangan, dalam budaya yang terus dijaga, dan dalam setiap hati yang mencintai tradisi.
Ia meninggalkan jejak bukan di atas kemegahan, melainkan di atas ketulusan. Sebuah pesan abadi darinya seolah berbisik lembut:
“Hidup sederhana bukan berarti kekurangan, melainkan cara paling indah untuk menghargai makna kehidupan.”