Rinjani: Dalam Sunyi, Aku Menemukan Banyak Suara

Di puncak Rinjani, diam bukanlah kesepian—melainkan ruang untuk mendengar suara alam dan hati sendiri.
Gunung Rinjani bukan hanya tentang ketinggian, tetapi tentang kedalaman makna yang ditemukan dalam kesunyian

Awal Perjalanan: Hati yang Gelisah

Perjalanan ini tak dimulai dari kaki yang melangkah, tapi dari hati yang gelisah… ingin mencari arti. Pagi menjelang siang, aku mendaki sendiri. Di pos pendakian, semesta mempertemukanku dengan dua orang dari Jogja.

Kami mendaki bersama, berbagi canda dan lelah. Hingga sore menyapa, tubuh pun meminta istirahat. Kami bermalam karena untuk mencapai pos terakhir, dibutuhkan fisik dan jiwa yang benar-benar siap.

Kadang, jauh dari rumah adalah satu-satunya cara untuk menemukan rumah dalam diri. Seorang pendaki asing di Rinjani.
Seorang pendaki bule berdiri memandangi hamparan alam Rinjani sunyi yang tak asing, keindahan yang menggetarkan jiwa

Bukit Penyesalan dan Pertemuan Baru

Keesokan paginya, aku melanjutkan perjalanan seorang diri. Menuju pos terakhir, jalurnya tak mudah. Ada Bukit Penyesalan tempat di mana banyak pendaki bertanya: lanjut atau menyerah?

Di situlah aku bertemu rombongan dari Bandung. Mereka sedang duduk minum kopi, dan obrolan pun mengalir. Aku yang pernah kuliah di Bandung, langsung nyambung. Mereka mengajakku bergabung.

Pemandangan pagi hari di Gunung Rinjani dengan kabut tipis dan cahaya matahari lembut yang menyinari lereng pegunungan tanpa aktivitas manusia.
Pagi di Rinjani saat kabut menyapa dan sinar mentari perlahan membangunkan alam. Dalam sunyi, segalanya terasa lebih hidup

Malam di Pos Terakhir dan Puncak Rinjani

Kami mendaki hingga hampir malam, sampai di pos terakhir. Tenda-tenda berdiri, kisah-kisah mengalir. Alam begitu luar biasa. Kami bersiap, karena subuh itu, puncak akan kami daki.

Subuh yang dingin menggigit. Aku sempat terkena hipotermia. Tapi tangan-tangan baik dari rombongan Bandung menolongku. Bersama mereka, aku berdiri di atap Lombok.

Tanaman liar tumbuh subur di lereng Gunung Rinjani pada pagi hari, disinari cahaya matahari yang hangat dengan latar belakang alam pegunungan yang tenang.
Di tengah sunyi Rinjani, tumbuh kehidupan yang sederhana namun bermakna. Tanaman liar pun bersaksi akan kekuatan alam yang tak pernah berhenti bernapas

Atap Dunia dan Refleksi Diri

Langit membuka tirainya. Lautan awan menyapu pandangan. Matahari pertama menyentuh wajah kami. Di ketinggian itu, aku tak hanya melihat dunia dari atas aku melihat diriku sendiri kecil, namun kuat. Lelah, tapi hidup.

Baca juga:
🔗 3805 Mdpl: Kerinci, Sang Guru yang Mengajarkan Keberanian dan Kerendahan Hati


Segara Anak: Danau di Pelukan Gunung

Kami turun menuju Segara Anak. Danau biru itu seperti cermin langit. Malam kami isi dengan memancing, tertawa dalam dingin, dan menikmati ikan segar dari tangan alam. Malam itu bukan hanya indah, tapi bermakna.

Lanskap pegunungan Rinjani di pagi hari dengan kabut tipis dan cahaya matahari yang menerobos celah awan, menghadirkan suasana tenang tanpa kehadiran manusia.
Kabut pagi menyelimuti Rinjani, menyingkap suara alam yang hanya bisa didengar dalam keheningan

Jalur Torean: Sepi, Ekstrem, dan Menguji

Pagi berikutnya, kami mengambil jalur Torean jalur ekstrem, sepi, dan penuh tantangan. Siang berubah jadi malam. Air habis. Langkah mulai ragu. Kami memutuskan bermalam… di jalan setapak, beratapkan bintang, beralaskan tanah, berselimut harapan.

Akhir Perjalanan, Awal Pemahaman

Fajar datang. Tubuh lelah, jiwa penuh. Kami terus berjalan hingga akhirnya sampai di pos terakhir. Selamat. Penuh syukur.

Rinjani bukan sekadar gunung. Ia adalah guru sunyi, teman perjalanan, dan saksi… bahwa dalam diam, kita bisa menemukan suara paling jujur dari dalam diri.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *