Jejak di Atap Lombok: 3.726 mdpl Lebih Dekat ke Langit

Jejak kaki di jalur pendakian dengan tanah pasir vulkanik, membentang menuju puncak di kejauhan.
Jejak kaki yang tertinggal di jalur menuju puncak itu tidak akan lama bertahan di tanah pasir vulkanik yang mudah tersapu angin. Tapi maknanya abadi. (Foto: Ilustrasi)

Setiap Langkah Ada Cerita

Puncak Rinjani bukan sekadar titik tertinggi di Pulau Lombok ia adalah panggung bagi pertarungan batin dan pembuktian kesungguhan.

Tak semua orang sampai, tapi mereka yang tiba, tahu, setiap langkah di tanjakan itu penuh makna. Tidak ada yang instan. Tidak ada yang mudah.

Malam demi malam dalam tenda dingin, napas yang sesak karena oksigen yang menipis, langkah kaki yang terantuk batu tajam semua menjadi bagian dari kisah yang tidak bisa diceritakan hanya dengan satu foto dari puncak.

Dan ketika akhirnya matahari terbit di ufuk timur, menyinari lekuk punggung Rinjani, aku berdiri terpaku.

Bukan karena pemandangannya yang agung saja, tetapi karena menyadari: aku telah melewati semua rintangan itu dengan tubuh yang sama, tapi hati yang lebih tegar.

Kini, kakiku telah meninggalkan jejak di sana dan jejak itu akan tinggal lama, bukan di tanah, tapi di batin.

Jejak yang Tak Sekadar Tapak

Jejak kaki yang tertinggal di jalur menuju puncak itu tidak akan lama bertahan di tanah pasir vulkanik yang mudah tersapu angin.

Tapi maknanya abadi. Di titik itu, aku telah berdamai dengan segala suara dalam kepala, ketakutan, keraguan, dan rasa tak mampu yang sering datang diam-diam.

Tak ada sambutan megah di puncak. Hanya sunyi, dan langit biru yang membentang luas. Tapi justru di keheningan itu, aku mendengar diriku sendiri dengan lebih jelas. Tanpa sorakan, tanpa penonton, hanya ada tubuh yang letih namun bahagia.

Jejak itu bukan sekadar tapak kaki di lereng curam itu adalah tanda bahwa aku pernah bertahan, sekalipun rasanya nyaris tak sanggup.

Dan dari sanalah aku belajar satu hal penting, bahwa ketangguhan sejati tidak lahir dari sorakan orang lain, melainkan dari keputusan dalam hati untuk terus melangkah.

Baca juga:
🔗 3805 Mdpl: Kerinci, Sang Guru yang Mengajarkan Keberanian dan Kerendahan Hati

Setelah Puncak: Turun dengan Hati yang Lebih Penuh

Orang sering hanya menyorot tentang “mencapai puncak.” Tapi sebenarnya, perjalanan turunlah yang menguji apakah kita benar-benar berubah.

Sebab setelah berada begitu dekat dengan langit, kita harus kembali menyentuh tanah, kembali ke keramaian, ke rutinitas, ke kehidupan yang sering kali terasa sempit.

Namun kali ini, aku pulang dengan dada yang lebih lapang. Langkah yang dulu hanya mengejar puncak, kini mulai memahami makna dari setiap jeda. Bahwa perjalanan tidak selalu soal sampai, tapi juga soal bertumbuh dalam prosesnya.


Dari atas sana, aku melihat betapa luasnya dunia. Tapi lebih dari itu, aku melihat betapa sempitnya ketakutan yang selama ini kupeluk.


Rinjani mengajarkan bahwa banyak hal yang kita anggap mustahil, sebenarnya hanya menunggu kita untuk mencoba dan terus mencoba.

Rinjani, Cermin yang Tinggi

Gunung ini bukan hanya tempat mendaki, tapi juga cermin yang memantulkan siapa dirimu sebenarnya.

Di tempat ini, ego dikikis oleh angin dingin, dan kesombongan tak berarti apa-apa di hadapan langit yang tak terjangkau tangan. Yang tersisa hanyalah dirimu yang paling jujur lelah, lapar, takut, tapi terus berjalan.


Kini aku paham, kenapa banyak orang terus kembali ke gunung. Karena di sana, mereka bertemu dengan versi terbaik dari dirinya sendiri versi yang berani, penuh harapan, dan tahu bahwa hidup adalah pendakian tanpa akhir, tapi selalu layak untuk dijalani.

Penutup: Mereka yang Pulang dengan Cerita

Banyak orang bermimpi mendaki Gunung Rinjani. Banyak yang ingin mencapai puncaknya. Bahkan tak sedikit yang berharap bisa menuliskan kisah hidupnya dari sana.

Namun, seperti halnya alam, gunung memiliki cara tersendiri untuk menyaring siapa yang benar-benar siap. Rinjani bukan tempat untuk sekadar pamer kekuatan atau memburu foto indah.

Ia adalah ruang seleksi alam bagi mereka yang mampu mendaki dengan rendah hati, bertahan dengan jiwa yang tangguh, dan pulang dengan hati yang lebih lapang.

Sebab tak semua yang mendaki akan sampai ke puncak. Tak semua yang sampai bisa menangkap makna. Dan tak semua yang turun membawa pulang lebih dari sekadar lelah.

Hanya mereka yang berjalan dengan kesadaran yang mendengar bisikan sunyi di antara langkah, yang menunduk pada keagungan alam, yang mengerti bahwa jejak kaki bukan hanya tentang tujuan, tapi tentang proses yang benar-benar membawa pulang sesuatu dari Rinjani.

Dan ketika mereka turun dengan selamat, meninggalkan jejak dan memori di atas sana, gunung pun tahu:

Satu jiwa lagi telah belajar, bahwa ketinggian bukan soal seberapa jauh kita naik, tapi seberapa dalam kita memahami.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *