Memento Mori: Titik Balik Seorang Pengelana Hidup

Siluet seseorang menatap langit senja, merefleksikan kefanaan hidup dan makna kebaikan.
Jangan bertindak seolah-olah kamu akan hidup sepuluh ribu tahun. Kematian menunggu di sisimu. Selagi kamu hidup, selagi masih mungkin, jadilah baik (Foto: Ilustrasi)

Ada saat di mana hidup berhenti sejenak bukan karena waktu benar-benar berhenti, melainkan karena kesadaran tiba-tiba menyala.

Dalam keheningan yang lahir dari keterkejutan, seseorang bisa melihat dirinya sendiri dengan jernih untuk pertama kalinya.

Begitu pula yang dialami seorang pria yang pernah bersentuhan langsung dengan kematian.

Tubuhnya terbaring, darah mengalir di jalanan, dan di antara detik yang nyaris terhenti itu, lahirlah kesadaran baru bahwa hidup ini begitu rapuh, begitu singkat, dan sering kali disia-siakan oleh kesombongan dan pelarian.

Sebelum kejadian itu, hari-harinya diisi oleh kesenangan sesaat, alkohol menjadi pelarian, karier menjadi kebanggaan, dan ego menjadi pusat dari semua keputusan.

Ia hidup seperti sedang membangun kebahagiaan, padahal yang ia bangun hanyalah tembok ilusi yang tinggi, memisahkannya dari dirinya sendiri.

Baca juga:
πŸ”— Hidup: Perjalanan dari Gelap Menuju Terang

Namun, setelah peristiwa itu, pandangannya berubah total. Ia seperti manusia baru yang terlahir dari reruntuhan masa lalunya.

Ia mulai belajar kembali dari dasar, mengenal tanggung jawab, memahami cinta, dan memeluk kehidupan sederhana.

Ia menikah, membangun rumah kecil, dan memusatkan hidupnya pada dua anak yang kini menjadi sumber kebahagiaannya.

Seorang pria duduk bersama keluarga kecilnya di teras rumah sederhana, memandang sore dengan rasa syukur.
Dari titik nyaris kehilangan nyawa, ia justru menemukan makna kehidupan yang sejati, hidup sederhana bersama keluarga dan kedua anaknya (Foto: Ilustrasi).

Dalam kesunyian rumah itu, ia mulai menemukan apa yang dulu hilang: ketenangan. Ia belajar bahwa hidup bukan tentang seberapa banyak hal yang dimiliki, tetapi seberapa dalam kita mengerti arti keberadaan.

Bahwa keheningan bisa lebih berharga daripada sorak tepuk tangan, dan bahwa keluarga kecil bisa menjadi universum tempat jiwa menemukan makna sejati.

Baca juga:
πŸ”— Makna Sejati dari Rumah

Perjalanannya ini sejalan dengan filsafat Marcus Aurelius, kaisar sekaligus filsuf Stoik yang menulis:

β€œJangan bertindak seolah-olah kamu akan hidup sepuluh ribu tahun. Kematian menunggu di sisimu. Selagi kamu hidup, selagi masih mungkin, jadilah baik.”

Kesadaran akan kematian β€” Memento Mori β€” menjadi pelita yang menuntunnya. Ia berhenti berlari dari dirinya sendiri, berhenti mencari pengakuan, dan mulai hidup dengan kesadaran penuh.

Setiap hari kini dijalani seperti sebuah doa panjang: sederhana, sunyi, tapi penuh makna.

Baca juga:
πŸ”— Keheningan: Jalan Pulang ke Dalam Diri

Dari titik nyaris kehilangan hidup, ia menemukan kehidupan yang sejati. Dari luka yang dulu menakutkan, tumbuh kebijaksanaan.

Dan dari diamnya hari-hari kini, ia belajar bahwa kebahagiaan bukan untuk dikejar melainkan untuk disadari.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *