Menjadi anggota di bidang Reserse Kriminal (Reskrim) bukan sekadar pekerjaan, tetapi panggilan tanggung jawab.
Setiap hari, mereka dihadapkan pada situasi yang menuntut ketepatan, keberanian, dan kerahasiaan.
Identitas harus dijaga, langkah harus disembunyikan, dan terkadang bahkan nama pun tak boleh dikenal.
Namun, di balik kehidupan yang penuh rahasia itu, ada manusia biasa dengan hati seorang ayah yang lembut.
Di balik seragam dan tugas yang berat, ia tetap menyimpan kerinduan sederhana untuk hadir di tengah keluarga, menemani tumbuh kembang anak-anaknya, dan menjaga harmoni rumah tangga yang telah ia bangun.
Di rumah, ia bukanlah sosok aparat yang tegas, melainkan seorang ayah yang hangat dan sabar.
Tiga anaknya kini telah dewasa dua perempuan dan satu laki-laki. Meski masa lalunya banyak dihabiskan untuk dinas dan pengabdian, ia selalu berusaha menebus waktu dengan kehadiran dan perhatian.
Baru-baru ini, ia melaksanakan upacara tradisi Bali untuk salah satu anaknya. Sebuah tradisi turun-temurun yang menjadi simbol kasih sayang, tanggung jawab, dan penghormatan terhadap leluhur.
“Saya hanya menjalankan kewajiban sebagai orang tua,” ucapnya dengan nada rendah hati. Tak ada kebanggaan yang diucapkan keras, hanya ketulusan seorang ayah yang menjalankan dharma dalam lingkup keluarga.
Profesi di bidang Reskrim menuntut dirinya untuk hidup dalam bayang-bayang ketidakpastian. Ia harus menjadi seseorang yang dikenal di dalam institusi, namun tak dikenal di luar.
Dunia luar mungkin tak pernah tahu siapa dia sebenarnya, dan itu adalah bagian dari tanggung jawab yang harus dijaga.
Namun, di balik semua itu, ada beban batin yang tidak sedikit. Menjadi “tidak dikenal” di dunia luar, tetapi tetap harus “dikenal” dengan penuh kasih di dalam rumah.
“Yang orang tak tahu apa-apa, cuman tugas dan tanggung jawab saja sebagai hamba Tuhan,” katanya pelan.
Sebuah kalimat yang mencerminkan ketulusan pengabdian dan penerimaan yang mendalam terhadap jalan hidup yang dipilihnya.
Baca juga:
🔗 Nurani di Balik Seragam: Kisah Kecil dari Aksi Demonstrasi di Bali
Kini, di usia mendekati 58 tahun, masa pensiun sudah di depan mata. Ia menatap ke belakang bukan dengan penyesalan, melainkan dengan rasa syukur.
“Perjalanan hidup saya sudah 50 tahun, usia pun tak lagi muda. Sekarang saya hanya belajar menerima dan bersyukur. Kalau ada rezeki, wajib berbagi,” ucapnya penuh ketulusan.
Baginya, kebahagiaan sejati bukan diukur dari seberapa besar jabatan atau penghargaan yang diraih, tetapi dari kemampuan untuk tetap rendah hati dan berbagi ketika diberi rezeki.
Bali, tanah yang penuh makna spiritual dan nilai keseimbangan, menjadi tempat ia menata langkah-langkah terakhir masa pengabdiannya.
Tradisi Hindu di pulau ini mengajarkan pentingnya Tri Hita Karana, keseimbangan antara hubungan manusia dengan Tuhan, sesama, dan alam.
Nilai itulah yang ia pegang erat. Ia berusaha menyeimbangkan kehidupan profesionalnya yang penuh rahasia dengan perannya di rumah sebagai ayah dan penjaga nilai-nilai tradisi.
Keseimbangan antara tugas dan kasih sayang, antara diam dan pengabdian, antara tanggung jawab duniawi dan kewajiban spiritual.
Menjadi anggota Reskrim berarti hidup di dua dunia. Dunia pertama adalah dunia yang keras, penuh risiko, dan menuntut kerahasiaan. Dunia kedua adalah dunia keluarga, tempat segala cinta, tawa, dan doa bersemayam.
Di antara dua dunia itu, ia memilih untuk tidak kehilangan keduanya. Ia tetap setia pada negara, namun tak pernah lupa bahwa keluargalah tempat ia pulang.
Dua pengabdian yang sama mulianya, dua peran yang dijalankan dengan satu hati, hati seorang ayah yang berjuang dalam diam.
Baca juga:
🔗 Kompol I Wayan Budiarsa, S.H.: Harmoni Kemanusiaan, Tradisi, dan Tugas Negara