Di tengah gelombang modernisasi dan globalisasi, perempuan Dayak yang mengenakan anting panjang (disebut juga telinga bajau atau telinga lanjang) bukan sekadar tampil berbeda.
Mereka adalah penjaga warisan, penutur nilai-nilai leluhur, dan penyeimbang antara masa lalu dan masa kini. Anting panjang bukan hanya perhiasan, melainkan identitas yang dipikul dengan bangga, meski penuh tantangan.
Perempuan muda Dayak menghadapi realitas sistem yang kerap tidak akomodatif terhadap ekspresi budaya.
Di banyak sekolah, anting panjang dianggap tidak sesuai aturan kerapian, padahal sejak kecil mereka diajarkan bahwa telinga panjang adalah simbol kedewasaan dan kehormatan keluarga.
Di ruang-ruang publik perkotaan, stigma dan eksotisme menjadi beban tersendiri. Anting panjang dipandang aneh, primitif, bahkan menjadi objek foto-foto eksotis tanpa pemahaman akan nilai filosofis di baliknya.
Perempuan Dayak pun harus terus menjelaskan bahwa anting mereka bukan aksesori biasa melainkan simbol kearifan, garis keturunan, dan keterhubungan spiritual dengan semesta.
Baca juga:
🔗 Perempuan Bali dan Tradisi: Kekuatan Lembut Penjaga Budaya
Generasi tua menginginkan warisan adat tetap utuh, mereka percaya, setiap bentuk, bahan, dan panjang anting memiliki makna.
Di sisi lain, generasi muda mendambakan bentuk yang lebih ringan dan fleksibel agar bisa dikenakan di kehidupan sehari-hari terutama bagi mereka yang aktif di kota atau dunia kerja modern.
Di sinilah perempuan Dayak menjadi jembatan antar zaman mereka berupaya menjaga kehormatan leluhur, sekaligus mencari cara agar budaya tetap relevan dan tidak memberatkan.
Mediasi ini tidak mudah, namun sangat penting untuk keberlanjutan tradisi yang hidup.
Lebih dari sekadar simbol adat, anting panjang memiliki dimensi spiritual yang mendalam.
Dalam ritual seperti Telingaan Aruu, anting bukan hiasan, melainkan perlambang keseimbangan antara langit dan bumi.
Ia dipercaya sebagai penyeimbang kosmos, pengikat manusia dengan leluhur dan alam semesta.
Namun, saat generasi muda semakin jauh dari akar spiritual, makna itu pun terancam hilang.
Untuk itu, banyak perempuan Dayak kini memimpin lokakarya, forum, dan edukasi publik menghidupkan kembali nilai-nilai spiritual yang melekat pada anting panjang sebagai simbol harmoni semesta.
Membuat dan mengenakan anting panjang asli dari tembaga atau kuningan memang membutuhkan biaya dan waktu.
Banyak perempuan terpaksa meninggalkannya demi menyesuaikan diri dengan tuntutan dunia kerja.
Tapi mereka tak menyerah, muncullah komunitas-komunitas perajin perempuan Dayak yang mengubah tantangan menjadi peluang ekonomi kreatif.
Mereka berinovasi membuat anting berbahan ringan, membuat model modern yang tetap memuat nilai filosofis, dan memasarkan karya mereka lewat media sosial.
Bahkan, banyak perempuan Dayak kini menjadi edukator budaya digital, mengubah Instagram dan TikTok menjadi ruang untuk menjelaskan makna telingaan aruu secara luas.
Setiap pasang anting panjang mengandung makna mendalam:
Baca juga:
🔗 Potong Gigi: Simbol Kedewasaan dan Kesucian dalam Tradisi Hindu Bali
Perempuan Dayak masa kini membuktikan bahwa tradisi tak harus usang. Mereka memilih jalan tengah yang bijak:
Anting panjang bertahan bukan karena kekakuannya, melainkan karena kelenturan hati perempuan yang memakainya.
Di ujung telinga yang memanjang itu, tergantung keseimbangan antara masa lalu dan masa depan, antara menjadi Dayak seutuhnya dan warga dunia yang adaptif.
“Tradisi adalah sungai yang mengalir dan perempuan Dayak adalah batunya. Diam di tempat, tapi membiarkan air zaman mengikis permukaan menjadi kebijaksanaan.”