Dalam perjalanan kehidupan modern, banyak nilai dan tradisi lama mulai mengalami perubahan.
Dahulu, urusan mengurus anak-anak hampir sepenuhnya menjadi tanggung jawab kaum ibu.
Namun, seiring terbukanya zaman dan perubahan kondisi ekonomi, muncul kesadaran baru bahwa anak-anak adalah tanggung jawab bersama bukan hanya ibu atau ayah secara terpisah, melainkan orang tua sebagai satu kesatuan.
Keindahan sifat keibuan, seperti kata Sadhguru, bukan terletak pada kemampuan reproduksi, melainkan pada inklusi kemampuan untuk mengalami kehidupan lain sebagai bagian dari diri kita sendiri.
Dalam makna yang lebih luas, siapa pun yang mampu merasakan kehidupan anaknya sebagai bagian dari dirinya, sesungguhnya telah menjalani esensi dari keibuan itu sendiri.
Baca juga:
🔗 Perjalanan Seorang Ibu: Dari Rasa Sakit Menjadi Cinta yang Tak Terbatas
Begitulah yang dialami oleh Hendra, seorang ayah yang tinggal di Bali bersama istri dan dua anaknya.
Sejak tahun 2020, ketika pandemi Covid-19 melanda dunia, kehidupan mereka berubah total.
Saat itu, anaknya baru satu, dan kondisi memaksa mereka menyesuaikan diri. Istrinya harus tetap bekerja, sementara Hendra mengambil peran di rumah menjadi ayah sekaligus ibu bagi anak-anaknya dari Senin hingga Jumat.
Pada awalnya, peran itu tidak mudah dijalani. Rasa minder, malu, bahkan emosi sering muncul. Ia merasa perannya tidak lazim, berbeda dari pandangan masyarakat tentang “tugas seorang laki-laki”.
Namun, waktu, pengalaman, dan proses belajar perlahan mengubah cara pandangnya. Ia mulai menyadari bahwa kehadiran orang tua siapapun itu, ayah atau ibu sangat penting bagi tumbuh kembang anak.
Anak-anak membutuhkan kasih sayang, perhatian, dan kehadiran yang tulus.
Baca juga:
🔗 Menanam Nilai Sejak Dini: Generasi Emas yang Perlu Ditemani dengan Keteladanan
Kini, setelah beberapa tahun berlalu, situasinya pun berubah. Anak pertamanya sudah berusia 6 tahun dan mulai bisa diarahkan, sementara anak keduanya berumur 4 tahun.
Dalam refleksinya, Hendra merasa beruntung bisa mendampingi anak-anak tumbuh dari dekat. Ia tidak lagi berpikir bahwa tanggung jawab mengasuh anak hanya milik ibu.
Dengan belajar dan membuka diri terhadap ilmu parenting, Hendra menemukan kepuasan batin tersendiri.
Ia bangga melihat buah hasil pendampingannya: anak pertamanya, tanpa pernah bersekolah di taman kanak-kanak, sudah mampu menulis, membaca, dan berhitung.
Lebih dari itu, mereka juga tumbuh dengan nilai-nilai moral dan norma kehidupan yang kuat sesuatu yang ia tanamkan sejak dini dengan penuh kesabaran dan kasih sayang.
Hidup di era sekarang bukan lagi soal mempertahankan doktrin lama, melainkan bagaimana menjadi orang tua yang sadar, terbuka, dan bijak.
Tugas orang tua bukan hanya memenuhi kebutuhan fisik anak, tetapi juga memperhatikan kesehatan mental dan jiwa mereka.
Di sanalah esensi sejati dari pengasuhan menghadirkan diri sepenuhnya dalam kehidupan anak-anak.
Karena anak-anak tidak hanya membutuhkan makanan dan pendidikan, tetapi juga kedekatan emosional dan kehadiran yang nyata dari orang tua mereka.
Baca juga:
🔗 Hadir Sepenuh Hati di Tengah Kesibukan
Peran ayah di rumah bukan tanda kelemahan, melainkan bentuk cinta yang nyata. Karena pada akhirnya, menjadi orang tua bukan soal siapa yang melahirkan, tetapi siapa yang menghadirkan dirinya dalam setiap proses tumbuh kembang anak-anaknya.
Seperti yang dialami Hendra, menjadi ayah sekaligus ibu justru membuka jalan untuk memahami makna terdalam dari keluarga, bahwa cinta tidak mengenal peran, dan kasih sayang sejati lahir dari kehadiran yang tulus.
Perjalanan Hendra bukan hanya tentang perubahan peran dalam rumah tangga, tetapi tentang perjalanan hati dalam memahami makna menjadi orang tua.
Di tengah tuntutan zaman yang semakin cepat dan keras, ia memilih jalan yang lembut menjadi hadir, bukan hanya ada.
Dari tangisan pagi, tawa kecil di ruang tamu, hingga pelukan hangat sebelum tidur, semua menjadi saksi bahwa cinta orang tua tidak diukur dari siapa yang bekerja atau siapa yang di rumah, melainkan dari seberapa dalam kehadiran itu dirasakan oleh anak-anak.
Karena pada akhirnya, yang akan dikenang oleh anak-anak bukan seberapa besar rumah yang mereka tinggali, tetapi seberapa sering orang tuanya hadir sepenuh hati di dalamnya.