Banjir Bali Ungkap Krisis DAS Ayung, Komunitas Desak Penanganan Serius

Wayan Aksara bersama komunitas BumiKita lakukan aksi kecil berkesinambungan membangun kesadaran lingkungan.
Aksi kecil yang berkesinambungan terus dilakukan oleh Wayan Aksara bersama komunitas BumiKita dalam membangun kesadaran. (Foto: Dokumentasi)

BALI – Banjir yang melanda sebagian wilayah Bali pada 10 September 2025 lalu tidak hanya menyisakan kerugian material, tetapi juga menyingkap persoalan mendasar terkait pengelolaan lingkungan hidup di pulau ini.

Gelombang air bah yang turun dari kawasan hulu menyapu pemukiman warga, infrastruktur, serta membawa tumpukan sampah dalam jumlah besar hingga ke pesisir pantai.

Pemandangan menyedihkan ini kembali menyoroti krisis lingkungan di Daerah Aliran Sungai (DAS) Ayung, salah satu DAS paling vital di Bali.

Sampah di Muara Sungai Jadi Sorotan

Ketua komunitas BumiKita, Wayan Aksara, mengungkapkan bahwa peristiwa banjir kali ini menunjukkan lemahnya kesadaran masyarakat di wilayah hulu. Menurutnya, volume sampah yang terbawa arus menuju muara sangat mencengangkan.

“Pasca banjir, sampah di pantai cukup banyak dengan berbagai jenis. Kami menemukan kondisi terparah di lokasi muara sungai besar. Ini indikasi bahwa kesadaran masyarakat di hulu masih perlu ditangani lebih serius,” ujarnya.

Wayan menambahkan, selain persoalan sampah rumah tangga, banjir kali ini juga memperlihatkan adanya limbah industri dan sisa material bangunan yang hanyut bersama arus.

Hal tersebut menandakan adanya praktik pembuangan sembarangan yang masih berlangsung di sepanjang aliran sungai.

Baca juga:
🔗 Pemprov Bali Cabut Status Tanggap Darurat Banjir, Tahap Pemulihan Dimulai

Hutan DAS Ayung Tinggal 3 Persen

Menteri Lingkungan Hidup, Hanif Faisol Nurofiq, jauh sebelum banjir ini terjadi sudah mengingatkan tentang kondisi kritis di DAS Ayung.

Dari total luas sekitar 49.500 hektare, kini kawasan tersebut hanya memiliki tutupan pohon sekitar 1.500 hektare atau 3 persen saja.

Padahal, standar ideal minimal 30 persen kawasan DAS harus ditutupi hutan untuk menjaga daya resapan air dan mengurangi risiko banjir.

“Konversi lahan dari hutan menjadi non-hutan seluas 459 hektare terjadi sejak 2015 hingga 2024. Angka itu memang kecil jika dibandingkan dengan pulau besar lain, tetapi untuk Bali yang kecil, dampaknya sangat besar,” ungkap Hanif, dikutip dari Antara (13/5/2025).

DAS Ayung merupakan sumber kehidupan bagi ribuan warga Bali, sekaligus menaungi sejumlah aliran sungai penting seperti Tukad Badung, Tukad Mati, dan Tukad Singapadu.

Penurunan daya resapan di kawasan hulu tidak hanya memicu banjir, tetapi juga berdampak pada ketersediaan air bersih, pertanian, serta keberlangsungan pariwisata yang sangat bergantung pada keindahan alam Bali.

Komunitas dan Aksi Nyata

Meski kondisi lingkungan semakin mengkhawatirkan, sejumlah komunitas lingkungan tetap konsisten melakukan aksi nyata.

Trash Hero dan BumiKita, misalnya, rutin mengadakan kegiatan bersih-bersih di berbagai titik, termasuk muara sungai dan pesisir pantai.

“Untuk giat pasca bencana, sudah banyak ditangani masyarakat, TNI-Polri, komunitas, dan pemerintah. Namun kami tetap konsisten bergerak. Aksi kecil yang berkesinambungan jauh lebih penting dalam membangun kesadaran,” tegas Wayan.

Menurutnya, kesadaran tidak bisa dibangun secara instan hanya ketika terjadi bencana. Gerakan kecil yang dilakukan secara konsisten jauh lebih berdampak dalam mengubah perilaku masyarakat terhadap sampah dan lingkungan.

Pemerintah Diminta Bertindak Tegas

Meski awalnya sempat membantah, Gubernur Bali akhirnya mengakui bahwa penyebab utama banjir tidak hanya menumpuknya sampah, melainkan juga menyusutnya kawasan hutan di hulu DAS.

Pernyataan ini menjadi alarm keras bagi pemerintah daerah agar lebih serius dalam menjaga keseimbangan ekosistem.

“Sejatinya, penyebab utama banjir adalah rendahnya daya resapan kawasan DAS Ayung yang terus menurun akibat berkurangnya hutan di hulu,” tegas Wayan Aksara.

Selain reboisasi, langkah strategis lain yang dinilai mendesak adalah penegakan hukum terhadap praktik alih fungsi lahan yang tidak terkendali.

Tanpa regulasi ketat, Bali berpotensi menghadapi bencana ekologis yang lebih besar di masa depan.

Baca juga:
🔗 Yang Tersisa dari Bencana Bukan Hanya Lumpur, Tapi Juga Tekad untuk Bangkit

Banjir Jadi Pengingat Krisis Ekologis Bali

Banjir 10 September 2025 menjadi peringatan bahwa pulau kecil seperti Bali sangat rentan terhadap perubahan ekologi. Menunda pemulihan lingkungan hanya akan memperbesar risiko bencana berikutnya.

Kolaborasi antara masyarakat, komunitas, pemerintah daerah, akademisi, dan sektor pariwisata perlu diperkuat.

Pariwisata Bali yang menjadi tumpuan ekonomi sejatinya tidak bisa dilepaskan dari kelestarian lingkungan. Tanpa alam yang terjaga, wajah Bali sebagai destinasi dunia bisa perlahan pudar.

“Bali tidak hanya milik generasi sekarang. Pulau ini warisan untuk anak cucu kita. Jangan sampai mereka hanya mengenang keindahan Bali lewat cerita, sementara kenyataannya hancur karena kelalaian kita,” tutup Wayan.

2 Responses

  1. Terimakasih beritanya.
    Boleh saya wawancara tertulis dengan Editor mantrabali.com terkait gerakan Komunitas Bumi Kita dan posisi mitrabali.com sebagai mitra partner dalam gerakan pengurangan Sampah Plastik Sekali Pakai di Bali? Saya sedang mengadakan penelitian disertasi tentang ini. Tanggapanya saya tunggu di email ya? Terimakasih

    1. Halo,
      Terima kasih atas ketertarikan dan undangannya untuk wawancara. Dengan senang hati kami bersedia untuk diwawancara secara tertulis terkait gerakan Komunitas Bumi Kita serta peran Mantrabali.com sebagai mitra dalam gerakan pengurangan sampah plastik sekali pakai di Bali.

      Silakan kirim daftar pertanyaan ke email mantrabalinews@gmail.com, nanti akan kami jawab sesuai kebutuhan penelitian Anda.

      Salam,
      [ Mahendra / Tim Mantrabali.com ]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *