Dikelilingi hutan lebat dan deretan pegunungan, serta dibelai oleh udara sejuk khas dataran tinggi, Bajawa bagaikan pintu gerbang menuju masa silam yang hidup. Di tanah Ngada ini, budaya dan alam saling berpelukan, menjaga desa-desa adat seperti Bena agar tetap lestari, tak lekang oleh waktu.
Kampung Adat Bena berdiri anggun di atas sebuah punggung bukit di Desa Tiwuriwu, Kecamatan Aimere, Kabupaten Ngada. Dari sini, Gunung Inerie menjulang sebagai latar sempurna bagi lanskap yang begitu memikat. Pepohonan rimbun memagari kampung, seolah ingin menjaga keheningan dan kesakralannya dari hiruk-pikuk dunia luar.
Diperkirakan sudah ada sejak lebih dari 1.200 tahun silam, Bena bukan hanya sekadar desa—ia adalah museum hidup. Batu-batu megalitik seperti Watu Lewa, yang menjulang tegak, dan Nabe, batu berbentuk meja tempat pelaksanaan ritual adat, menjadi bukti kuat akan peradaban masa lampau yang terus bernapas hingga kini.
Meski zaman telah melesat maju, Bena tetap memilih diam dalam kebijaksanaannya. Rumah-rumah warga masih tegak berdiri dengan arsitektur khas: dinding kayu, atap rumbia, dan nilai-nilai leluhur yang terpatri di dalamnya. Teknologi modern belum menyentuh desa ini secara utuh, dan mungkin memang belum perlu.
Namun begitu, bukan berarti Bena menolak zaman. Anak-anak di kampung ini tetap mengenyam pendidikan, pergi ke sekolah sambil tetap bertumbuh dalam pelukan tradisi. Ini adalah bentuk adaptasi yang indah—menghormati masa lalu tanpa menutup diri dari masa depan.
Kampung ini juga dikenal dengan warisan kain tenunnya yang khas. Kaum perempuan adalah penjaga tradisi ini, duduk bersila di depan rumah, menenun dengan tangan yang terampil dan sabar. Setiap helai benang adalah cerita, setiap motif adalah simbol. Hasil tenunan mereka biasanya digantung di depan rumah, bukan hanya sebagai hiasan, tapi juga sebagai undangan: bagi siapa pun yang ingin membawa pulang sepotong warisan budaya yang dikerjakan dengan sepenuh hati. Harga kain ini bervariasi, mulai dari Rp100.000, tergantung pada ukuran, bahan, dan tingkat kerumitan motif.
Menuju Bena adalah perjalanan jiwa. Dari Bajawa, hanya dibutuhkan sekitar 30 menit dengan kendaraan melalui jalanan berliku. Tapi sejatinya, perjalanan ke Bena bukan tentang waktu tempuh—melainkan tentang menyelami kebijaksanaan yang sunyi, keteguhan identitas, dan rasa syukur atas akar budaya yang masih dijaga dengan sepenuh jiwa.
Bena bukan sekadar tujuan wisata. Ia adalah tempat untuk diam, menyimak, dan belajar. Bahwa dalam kesederhanaannya, tersimpan kekayaan yang tak terukur. Bahwa di balik waktu yang diam, ada kehidupan yang bicara lewat alam, adat, dan tangan-tangan penuh cinta.