Di tengah gemerlap dunia modern dan kemudahan teknologi, ada satu krisis senyap yang terus membayangi generasi muda, fatherless ketiadaan sosok ayah, baik secara emosional, fisik, maupun keduanya, dalam kehidupan seorang anak.
Fenomena ini tidak selalu berarti bahwa sang ayah telah tiada. Sering kali, fatherless merujuk pada ayah yang masih hidup, tetapi absen terlalu sibuk mengejar karier, tenggelam dalam urusan pribadi, atau tidak mampu hadir secara emosional dalam kehidupan anak-anaknya.
Di Indonesia, kondisi ini semakin terasa nyata. Banyak anak tumbuh hanya bersama ibu sebagai satu-satunya pengasuh, sementara kehadiran ayah hanya sebatas nama di Kartu Keluarga.
Data dari Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menunjukkan bahwa 20,9 persen remaja di Indonesia mengalami fatherless, atau kehilangan figur ayah dalam keseharian mereka.
Stigma sosial mengenai peran ayah dalam pengasuhan masih sangat kuat. Ayah seringkali diidentikkan sebagai pencari nafkah utama, sementara urusan mengasuh anak dianggap sebagai tugas ibu semata.
Namun, pengalaman Moonstar, seorang ayah berusia 42 tahun, membuktikan bahwa pola pikir ini bisa diubah.
Sejak 2019, Moonstar memilih untuk mendampingi kedua anaknya setiap hari, dari Senin hingga Jumat, sementara sang istri bekerja.
Kini, anak pertamanya berusia 6 tahun dan anak keduanya 4 tahun. Baginya, keputusan ini bukanlah pengorbanan, melainkan pilihan sadar untuk hadir dalam masa-masa emas tumbuh kembang anak masa yang tidak bisa diulang.
“Saya hanya ingin anak-anak saya merasakan kehadiran orang tua secara utuh dalam masa tumbuh kembang mereka. Waktu tidak bisa diputar kembali. Meski emosi kadang naik turun, saya menikmati peran ini. Fokus saya hanya satu: menjadi ayah yang bisa menjadi teladan bagi mereka,” ungkap Moonstar.
Anak-anak yang tumbuh tanpa kehadiran ayah sering kali memikul luka batin yang tak tampak dari luar.
Mereka mungkin tampak ceria, aktif, dan cerdas, namun jauh di lubuk hati tersimpan kerinduan akan sosok laki-laki pertama yang seharusnya memperkenalkan mereka pada dunia, memberi rasa aman, dan membimbing mereka menjadi pribadi yang utuh.
Penelitian menunjukkan bahwa kehilangan figur ayah membuat anak lebih rentan terhadap gangguan perilaku, kesulitan menjalin hubungan sosial, hingga terjerumus dalam lingkungan pergaulan yang negatif.
Dalam banyak kasus kriminal, pelaku berasal dari latar belakang keluarga tanpa kehadiran ayah yang berfungsi sepenuhnya.
Menjadi ayah bukan sekadar bekerja dan membawa pulang uang. Menjadi ayah berarti hadir di meja makan, di sisi tempat tidur saat anak hendak tidur, di pinggir lapangan saat anak bermain, dan dalam percakapan ringan sehari-hari.
Kehadiran yang dimaksud bukan hanya secara fisik, tetapi juga secara emosional mendengarkan, memahami, dan mencintai tanpa syarat.
Terlalu banyak anak tumbuh dengan pertanyaan-pertanyaan kecil yang meninggalkan luka besar:
“Mengapa ayah tidak datang saat aku tampil di pentas sekolah?”
“Mengapa ayah tak pernah bertanya bagaimana hariku?”
Jika kamu adalah seorang ayah atau calon ayah ingatlah, kehadiranmu adalah fondasi emosional bagi anak-anakmu.
Jangan menunggu waktu luang ciptakanlah waktu. Anak-anak mungkin tidak akan mengingat seberapa besar penghasilanmu, tapi mereka akan selalu ingat siapa yang menggenggam tangan mereka saat takut, dan siapa yang menyeka air mata mereka saat sedih.
Jika kamu tumbuh tanpa sosok ayah, pahamilah satu hal penting, kekurangan itu tidak menentukan siapa dirimu. Kamu tetap layak untuk tumbuh, bermimpi, dan mencintai.
Sosok ayah bisa kamu temukan dalam guru yang bijak, kakak laki-laki yang peduli, atau bahkan dalam dirimu sendiri yang sedang belajar menjadi ayah yang lebih baik untuk generasi berikutnya.
Baca juga:
🔗 Makna Sebuah Pertemanan: Dinamika, Keikhlasan, dan Waktu
Keluarga yang utuh bukan semata tentang ayah dan ibu yang tinggal serumah, melainkan tentang kehadiran emosional yang nyata dan tulus.
Dunia membutuhkan lebih banyak ayah yang tidak hanya hadir dalam bingkai foto keluarga, tapi benar-benar hadir dalam hidup dan hati anak-anaknya.
Pada akhirnya, anak-anak yang dibesarkan dengan cinta dan kehadiran orang tua sepenuh hati akan tumbuh menjadi manusia yang utuh.
Dan dunia kita hari ini lebih dari sebelumnya sangat membutuhkan lebih banyak manusia yang utuh.