Belakangan ini, institusi kepolisian kembali menjadi sorotan publik, terutama terkait relasi antara atasan dan bawahan.
Salah satu peristiwa yang mencuat terjadi di wilayah Nusa Tenggara Barat (NTB), di mana seorang atasan diduga melakukan kekerasan terhadap bawahannya.
Kejadian semacam ini tentu menimbulkan kekhawatiran dan kritik tajam dari masyarakat, mempertanyakan kembali seperti apa seharusnya wajah kepemimpinan dalam institusi penegak hukum.
Meskipun secara etis saya tidak berada dalam posisi untuk mengomentari langsung kasus tersebut, penting untuk menyoroti bahwa masih ada figur-figur pemimpin di tubuh Polri yang menunjukkan pendekatan berbeda lebih humanis, komunikatif, dan membangun.
Sosok seperti ini membuktikan bahwa kewibawaan tidak harus ditegakkan melalui rasa takut, tetapi bisa dibangun lewat dialog dan keteladanan.
Salah satu figur yang patut dicontoh adalah Irjen Pol. Drs. Waris Agono, M.Si, yang saat ini menjabat sebagai Kapolda Maluku Utara.
Di tengah kultur kepemimpinan yang kerap terlalu birokratis dan hierarkis, Irjen Waris menghadirkan pendekatan yang kontras namun sangat relevan dengan tantangan kepemimpinan masa kini.
Ia dikenal sebagai pemimpin yang tidak tergesa-gesa dalam mengambil keputusan, melainkan memilih untuk mendengar terlebih dahulu sebelum bertindak.
Ia meyakini bahwa pemahaman yang utuh terhadap persoalan hanya dapat dicapai dengan memberi ruang bagi suara bawahan.
Baca juga:
🔗 Inspirasi di Balik Lencana: Kisah Irjen Pol Waris Agono
Ketika ditanya mengenai gaya kepemimpinannya, Irjen Waris sempat melontarkan candaan ringan.
“Padahal saya terkenal galak dan saklek, loh Lae…”
Ucapan ini terdengar sederhana, namun mengandung filosofi mendalam. Di balik candaan tersebut tersirat kesadaran bahwa seorang pemimpin harus mampu menyeimbangkan ketegasan dengan empati.
Menjadi pemimpin bukan hanya soal memberi perintah, tetapi juga tentang membangun kepercayaan dan rasa hormat dari mereka yang dipimpinnya.
Bukan tanpa alasan Irjen Waris mampu menjadi sosok pemimpin seperti itu. Karier panjangnya ditempa di kawah candradimuka Korps Brigade Mobil (Brimob) Polri satuan elite yang dikenal dengan kedisiplinan dan ketangguhan luar biasa.
Dalam Brimob, setiap personel dituntut siap menghadapi kondisi paling ekstrem, dari ancaman terorisme hingga konflik bersenjata.
Di sanalah Irjen Waris belajar bahwa kekuatan sejati tidak hanya berasal dari otot atau senjata, tetapi juga dari kejernihan berpikir, kemampuan membaca situasi, serta menjaga moral dan semangat rekan-rekan di lapangan.
Brimob tidak hanya mendidik keterampilan teknis seperti penjinakan bom atau manuver taktis, tetapi juga menanamkan nilai etika, integritas, dan solidaritas tinggi.
Para lulusan Brimob dituntut bukan hanya tanggap dalam situasi kritis, tetapi juga mampu menjaga kewarasan, ketenangan, serta menjadi teladan bagi masyarakat.
Baca juga:
🔗 Kombes Pol. Ardiansyah Daulay, S.I.K., M.H.: Menjadi Brimob adalah Jalan Hidup
Menarik untuk melihat bagaimana Irjen Waris mengaktualisasikan latar belakang keras dan disiplin tersebut ke dalam bentuk kepemimpinan yang sarat empati.
Ia menyadari bahwa manusia, betapapun kerasnya dilatih, tetaplah makhluk sosial yang membutuhkan pengakuan, penghargaan, dan ruang untuk tumbuh.
Alih-alih memperkuat budaya ketakutan, ia memilih menumbuhkan budaya saling percaya.
Dalam berbagai kesempatan, Irjen Waris kerap turun langsung ke lapangan, bukan sekadar untuk memastikan situasi aman, tetapi juga untuk menyapa, mendengar, dan memahami persoalan yang dihadapi anggotanya di akar rumput.
Ia membangun komunikasi dua arah membuktikan bahwa keterbukaan bukanlah ancaman bagi struktur organisasi, melainkan kekuatan yang justru mempererat solidaritas dan meningkatkan efektivitas kerja.
Di tengah tantangan reformasi kepolisian yang masih berlangsung, kehadiran pemimpin seperti Irjen Waris menjadi sangat penting.
Ia menunjukkan bahwa ketegasan tidak harus identik dengan kekerasan, dan kedisiplinan tidak harus membunuh kreativitas maupun inisiatif bawahan.
Pendekatan ini menjadi angin segar dalam dinamika kepemimpinan Polri yang selama ini kerap dicitrakan kaku, militeristik, dan berjarak.
Dalam institusi sebesar Polri, sosok seperti Irjen Waris adalah bukti nyata bahwa mendengar sebelum bertindak bukanlah kelemahan, melainkan kekuatan.
Di tengah dunia yang semakin kompleks, pendekatan kolaboratif dan humanis justru menjadi kunci keberhasilan.
Kepolisian bukan semata-mata tentang penegakan hukum, tetapi juga tentang membina manusia di dalamnya.
Dan pada titik inilah, kekuatan sejati seorang pemimpin diuji bukan saat memberi perintah, tetapi ketika mampu menjadi telinga dan hati bagi yang dipimpinnya.