Di tengah sunyi pagi Tenganan Pegringsingan, desa adat Bali yang memelihara tradisi leluhur dengan ketat, saya bertemu Jro Indra. Pertemuan itu bukan sekadar kebetulan. Dari percakapan santai tentang kehidupan, kami mulai menyelami topik spiritualitas, hingga akhirnya saya diizinkan bergabung dalam perjalanan sembahyang ke Gunung Agung—gunung suci yang dianggap sebagai pusat kosmos dalam kepercayaan Hindu Bali.
Perjalanan dimulai sebelum fajar. Kami menyusuri jalur yang hanya dilewati oleh mereka yang berniat tulus beribadah, bukan pendaki biasa. Setiap langkah diiringi bisikan doa, gemerisik daun, dan aroma dupa yang menenangkan. Saat tiba di pos terakhir, seorang porter yang sudah berpengalaman memberi kabar mengejutkan: “Dari sini, Bisa ke puncak dalam dua jam. Fisikmu kuat.” Jantung saya berdegup kencang. Puncak Gunung Agung, simbol tertinggi pencapaian fisik, begitu menggoda.
Namun, Jro Indra mengingatkan dengan kalimat yang menusuk: *”Di sini, kau harus bedakan antara ego dan kebijaksanaan.”* Ritual sembahyang di Kori—titik persembahyangan di lereng gunung—adalah tujuan utama. Bukan puncak. Kata-katanya seperti air dingin yang menyiram ambisi saya. Di balik cuaca cerah dan kesempatan emas, saya dihadapkan pada pilihan: mengejar “prestasi” mendaki, atau menghormati esensi perjalanan ini sebagai bentuk penghambaan.
Saya memilih ikhlas. Di Kori, kami mempersembahkan doa, sesaji, dan ketulusan. Di sana, di antara kabut yang menyapu lereng, saya menyadari bahwa gunung ini bukan sekadar tanah dan batu. Ia adalah cermin: menguji sejauh mana kita mampu menaklukkan ego, mengutamakan makna di balik simbol. Puncak tertinggi bukanlah ketinggian geografis, melainkan kemampuan untuk *”turun” dari keinginan pribadi demi menghargai nilai spiritual yang lebih dalam.*
Pengalaman ini mengajarkan bahwa hidup seringkali menghadirkan dua jalan: satu yang memukau mata dunia (seperti puncak gunung), dan satu lagi yang sunyi namun bermakna abadi (seperti doa di Kori). Saya pulang tanpa foto di puncak Agung, tapi membawa *”puncak” baru dalam diri*: kesadaran bahwa kebijaksanaan sejati terletak pada keheningan, bukan sorak-sorai.
“Kadang, melepaskan justru membawa kita lebih dekat pada tujuan sejati.”