Kecantikan sering kali dikaitkan dengan wajah rupawan atau bentuk tubuh yang menarik. Namun, dalam perjalanan menyusuri pedalaman Kalimantan, saya menemukan makna kecantikan yang jauh lebih dalam—sebuah kecantikan yang tak bisa diukur dengan standar fisik semata. Ia hadir dalam bentuk kesederhanaan, kelembutan, dan kearifan yang terpancar dari dalam jiwa.
Itulah yang saya lihat dalam diri wanita Dayak, khususnya mereka yang masih mempertahankan tradisi leluhur: mengenakan anting panjang. Di tengah arus modernisasi yang begitu deras, keberadaan mereka menjadi penanda bahwa keindahan sejati bukan tentang mengikuti tren, tapi tentang menjaga jati diri.
Anting panjang bukan sekadar aksesori. Bagi perempuan Dayak, ia adalah simbol kedewasaan, kehormatan, dan identitas budaya. Setiap helai logam yang menggantung di telinga mereka menyimpan cerita: tentang asal-usul, tentang nilai-nilai yang dijunjung tinggi, dan tentang bagaimana mereka memandang hidup dengan penuh rasa hormat terhadap alam dan sesama.
Kini, tak banyak wanita Dayak yang masih mengenakan anting panjang. Generasi muda lebih memilih tampilan yang dianggap “modern”. Namun, mereka yang tetap menjaganya seakan menjadi penjaga sejarah—penyambung makna kecantikan yang lahir dari dalam, bukan sekadar tampak dari luar.
Melihat mereka adalah pengingat. Bahwa senyum yang tulus, kata-kata yang menenangkan, dan tindakan yang penuh kasih adalah wujud kecantikan yang tak lekang oleh waktu. Kecantikan yang mampu menyentuh hati, melampaui apa pun yang bisa dilihat mata.