Menemukan Ketentraman di Tengah Alam

Pemandangan sawah di belakang rumah dengan tembok rendah yang memungkinkan interaksi antara penghuni dan masyarakat sekitar.
Pemandangan sawah di belakang rumah dengan tembok yang tidak terlalu tinggi menciptakan suasana hidup yang hangat serta memungkinkan terjalinnya interaksi dengan masyarakat sekitar (Foto: Moonstar)

Banyak orang bermimpi menjalani kehidupan yang tenang, jauh dari hiruk-pikuk kota, dengan waktu yang berjalan lebih pelan dan penuh makna.

Gaya hidup seperti ini dikenal sebagai slow living, sebuah pilihan hidup untuk lebih sadar menikmati setiap detik, menghargai alam, dan menemukan kebahagiaan dalam kesederhanaan.

Yosep dan istrinya  salah satu dari sedikit orang yang berhasil mewujudkannya. Ia memutuskan menetap di daerah Tirta Tawar, Ubud, Gianyar, sebuah kawasan yang masih memegang erat tradisi Bali, di mana sawah hijau dan suara alam menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari.

Baca juga:
🔗 Pesona Rice Field Ubud: Harmoni Alam, Budaya, dan Kehidupan yang Mengakar

Rumah yang Menyatu dengan Alam

Ketika berkesempatan mengunjungi rumah Yosep, suasana teduh langsung terasa. Rumah bergaya tropis itu berdiri di antara hamparan sawah yang memanjakan mata.

Dari bagian belakang rumahnya, pemandangan petani yang sedang menanam atau memanen padi menjadi tontonan alami yang menenangkan hati.

Sore itu, di bawah langit jingga yang mulai meredup, perbincangan hangat mengalir di teras belakang rumah.

Angin lembut meniup padi yang mulai menguning, sementara aroma tanah basah selepas hujan menambah kedamaian suasana.

Menjelang malam, keheningan datang perlahan, menggantikan kesibukan siang dengan ketenangan yang begitu mendalam.

Hidup Tanpa Sekat

Satu hal yang menarik dari rumah Yosep adalah ketiadaan tembok tinggi di sekelilingnya. “Saya memang sengaja tidak membuat pagar tinggi,” ujarnya sambil tersenyum.

“Supaya bisa tetap berinteraksi dengan masyarakat sekitar. Kalau semua tertutup, kita bisa kehilangan rasa kebersamaan.”


Bagi Yosep, kehidupan bukan sekadar tentang kenyamanan pribadi, tetapi juga tentang hubungan antarmanusia.

Tak jarang ia duduk di pinggir sawah sambil menyapa para petani yang lewat. Kadang, ia mengajak mereka menikmati secangkir kopi panas atau mencicipi kue buatan istrinya.

Momen sederhana itu menjadi jembatan yang menghangatkan relasi antara pendatang dan warga lokal.

“Orang-orang di sini ramah. Setiap sore selalu ada yang menyapa. Kadang ngobrol sebentar, kadang hanya tersenyum, tapi itu cukup untuk membuat hari terasa hidup,” tuturnya.

Baca juga:
🔗 Makna Sejati dari Rumah

Harmoni Manusia dan Alam

Kehidupan yang dijalani Yosep mencerminkan keseimbangan antara manusia dan alam. Ia percaya bahwa ketenangan sejati lahir ketika seseorang mampu menyatu dengan lingkungannya.

Di Ubud, nilai ini masih dijaga dengan kuat melalui budaya menyama braya, sebuah filosofi hidup masyarakat Bali yang menekankan pentingnya hubungan harmonis antar sesama.

“Di sini kita masih bisa mendengar suara jangkrik, ayam berkokok, atau anak-anak yang bermain di pematang sawah,” kata Yosep. “Itu yang membuat hidup terasa nyata.”

Baca juga:
🔗 Hidup Seperti Padi dan Akar Budaya yang Menguatkan

Sebuah Gaya Hidup yang Didambakan Banyak Orang

Di era modern yang serba cepat, banyak orang mulai mencari makna baru dalam hidup. Ubud menjadi salah satu tempat yang menawarkan kesempatan untuk melambat, merenung, dan merasakan kembali hubungan manusia dengan alam.

Apa yang dijalani Yosep bukan sekadar gaya hidup, melainkan pilihan sadar untuk hidup lebih dekat dengan esensi kehidupan itu sendiri tentang bagaimana bersyukur atas hal-hal kecil, berinteraksi dengan tulus, dan menemukan kebahagiaan dari kesederhanaan.

Di Tirta Tawar, Gianyar, kehidupan yang damai dan bersahaja ini masih bisa ditemukan. Di sana, waktu seolah berjalan lebih pelan, memberi ruang bagi siapa pun untuk kembali menemukan dirinya yang sejati.

Penutup: Kembali pada Esensi Hidup

Dari kisah Yosep di jalan Tirta Tawar, kita belajar bahwa kebahagiaan sejati tidak selalu datang dari kemewahan atau hiruk-pikuk kota besar.

Kadang, ia justru hadir dalam kesederhanaan dalam secangkir kopi hangat yang diminum di tepi sawah, dalam sapaan tulus dari tetangga, atau dalam ketenangan malam yang hanya ditemani suara jangkrik.

Slow living bukan sekadar tren, melainkan ajakan untuk lebih hadir dalam setiap momen, menghargai yang kecil namun bermakna, serta menjaga keseimbangan antara diri sendiri, manusia lain, dan alam.

Yosep telah menemukan ketenangan itu di Ubud. Dan mungkin, lewat kisahnya, kita diingatkan bahwa setiap orang pun bisa menemukan “Ubud-nya” sendiri, tempat di mana hati terasa pulang dan hidup berjalan lebih lembut.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *