“Saya Tak Akan Jadi Petani, Tapi Tak Akan Pernah Lupa pada Petani”
“Tidak masalah jika saya dipersalahkan saat saya benar, tapi saya akan merasa berdosa jika kesalahan saya dibenarkan.”
Prinsip hidup inilah yang selalu dipegang teguh oleh Letkol I Wayan Suwitantra, S.I.P., seorang perwira kelahiran Desa Blahbatuh, Gianyar, Bali.
Terlahir sebagai anak sulung dari keluarga petani sederhana, Wayan kecil tumbuh dengan cita-cita yang tak biasa dibanding anak-anak di lingkungannya.
“Saya tidak akan menjadi petani,” ucapnya penuh keyakinan kepada sang ayah di usia muda. Namun, tekad itu tak berdiri sendiri. Ia menyertainya dengan janji luhur: “Tapi saya tidak akan pernah melupakan petani.”
Sang ayah yang sederhana namun bijak menanggapi dengan kalimat penuh kehangatan:
“Saya akan mendukungmu semampu Bapak.” Sejak itulah, babak perjuangan Wayan dimulai.
Menjadi anak pertama dari lima bersaudara membuat Wayan harus memikul tanggung jawab besar sejak remaja.
Saat masih duduk di bangku SMP, ia berangkat sekolah menggunakan sepeda ontel. Namun ketika memasuki masa SMA, sepeda itu hilang, dan ia pun tak lagi memiliki kendaraan.
Karena keterbatasan ekonomi, ia terpaksa berjalan kaki atau naik angkutan umum setiap hari demi menuntut ilmu.
Namun, justru dari perjuangan itulah semangatnya tumbuh semakin kuat.
“Ayah saya petani, dan saya harus mencari jalan hidup lain,” tekadnya mantap.
Cita-citanya adalah menjadi seorang prajurit. Ia mencoba masuk Akmil (Akademi Militer), namun gagal.
Tak ingin mengecewakan keluarga, ia berbelok ke Fakultas Kedokteran Gigi dan diterima. Tapi hatinya belum tenang. Saat semester lima, ia kembali mencoba peruntungan di Akmil, namun kembali gagal.
Beban hidup semakin berat: adik segera lulus sekolah dan butuh biaya. Ia lalu memilih jalur yang lebih realistis mendaftar sebagai bintara.
Kali ini, keberuntungan berpihak padanya. Ia lulus dan memulai pengabdian sejatinya di tubuh TNI AD.
Wayan menjalani penugasan di berbagai wilayah Indonesia, termasuk NTT, Papua, dan Bali. Ia pernah menjabat sebagai:
Dan kini, ia dipercaya sebagai Pabandya Kosmos di Sterdam IX/Udayana, sebuah jabatan penting dalam pembinaan komunikasi sosial di wilayah Kodam IX/Udayana.
Baca juga:
🔗 Menjadi Tentara: Takdir yang Membimbing, Bukan Sekadar Pilihan
Bagi Wayan, keberhasilan bukan hanya soal jabatan. Yang paling ia banggakan adalah keberhasilannya mendidik dan menginspirasi anak-anaknya.
“Ketika Bapak pensiun nanti, tenaga Bapak mungkin tak lagi kuat. Tapi semoga pengalaman hidup ini bisa menjadi bekal buat kalian,” pesannya kepada anak-anak.
Saat anak sulungnya ingin mencoba peruntungan di luar Bali, Wayan berkata, “Kalau kamu ingin sukses, carilah pengalaman di luar zona nyaman.”
Saat itu anaknya akan mengikuti seleksi di PT Telkom. Meski sedang bertugas di Papua, Wayan tetap membimbing dari jauh, mulai dari arahan naik taksi, terminal, hingga akhirnya anaknya bertemu seorang satpam bernama Pak Unang yang membantunya.
Kini, anak sulungnya, 1 Putu Raka Setya Putra, S.Ds., M.Ds., menjadi dosen di Universitas Padjadjaran dan sedang menempuh studi doktoral di bidang kajian kebudayaan.
Sementara anak keduanya, Aditya Brahma Yudantara, S.Tr., Tra., ANT II, sempat ingin mengikuti jejak sang ayah menjadi tentara.
Namun Wayan memberikan gambaran kerasnya dunia militer, “Sudah siap dengan risiko terberat?” Akhirnya, anaknya memilih jalur kedinasan dan kini bekerja di industri pertambangan.
“Astungkara, saya sangat menikmati hidup saya,” ujar Wayan penuh syukur.
Karier Wayan bukan tanpa hambatan. Ia pernah mendapat kesempatan melanjutkan pendidikan di Bandung kota yang sama tempat anaknya menuntut ilmu.
Namun, kariernya sempat terhenti selama tujuh tahun akibat fitnah dan permainan orang yang tidak menyukainya.
“Senang melihat orang susah, susah melihat orang senang,” ungkapnya, menggambarkan situasi yang ia hadapi.
Tuduhan palsu sempat membuatnya berada di titik terendah. Tapi Wayan memilih bertahan. Ia tak membalas dengan dendam. Ia justru menyerahkan segalanya kepada Yang Maha Kuasa.
Kepada anak-anaknya ia hanya berkata:
“Buat kepala ayah tegak kembali!”
Kalimat itu membakar semangat anak-anaknya untuk terus berjuang dan membuktikan integritas keluarga mereka.
Kini, menjelang masa pensiun, Letkol Wayan menatap kembali perjalanan hidupnya dengan ketenangan dan rasa syukur.
Ia mungkin tak selalu berada di puncak, tapi ia telah melewati berbagai fase dari titik terendah hingga titik yang membanggakan.
Hidupnya menjadi bukti bahwa kerja keras, prinsip yang teguh, dan cinta kepada keluarga adalah fondasi sejati untuk bertahan dan unggul dalam menghadapi kerasnya kehidupan.