Belakangan ini media sosial dihebohkan oleh sebuah video yang memperlihatkan seseorang menjemur pakaian di atas pelinggih di kawasan Kintamani, Bali.
Kejadian ini sontak mengundang reaksi keras dari masyarakat, terutama umat Hindu di Bali, karena dianggap tidak pantas dan menodai kesucian tempat tersebut.
Video berdurasi singkat itu memperlihatkan betapa tindakan sederhana bisa memantik perdebatan besar ketika menyentuh ranah kesucian dan simbol keagamaan.
Reaksi masyarakat pun beragam, dari marah hingga prihatin, sebab hal ini mencerminkan adanya jurang pemahaman antara nilai budaya dan kebiasaan sehari-hari.
Baca juga:
🔗 Menghormati Budaya Bali dengan Mengenakan Busana Adat di Pura
Pelinggih merupakan tempat pemujaan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa, yang keberadaannya tidak bisa dilepaskan dari tatanan spiritual dan filosofi kehidupan orang Bali.
Dalam mengatur pekarangan rumah, masyarakat Bali berpedoman pada konsep Tri Hita Karana, yaitu keseimbangan hubungan antara Parahyangan (manusia dengan Tuhan), Pawongan (manusia dengan sesama), dan Palemahan (manusia dengan alam).
Karena itu, setiap pelinggih memiliki fungsi suci yang tak tergantikan. Ia bukan sekadar bangunan, melainkan simbol keselarasan antara dunia nyata dan dunia rohani.
Menempatkan benda-benda profan seperti pakaian di atasnya dianggap melanggar kesucian dan menghina simbol keyakinan.
Baca juga:
🔗 Makna dan Tradisi Membunyikan Kulkul di Bali
Dalam video yang beredar, pelaku diketahui bukan berasal dari luar Bali, melainkan seseorang yang membuka toko kelontong di wilayah tersebut.
Fakta ini menunjukkan bahwa kurangnya pemahaman terhadap tata krama dan nilai adat tidak selalu berkaitan dengan asal-usul seseorang.
Bahkan mereka yang telah lama tinggal di Bali pun bisa terjebak dalam ketidaktahuan bila tidak memahami etika budaya lokal.
Kejadian ini membuka mata bahwa literasi budaya kemampuan memahami makna di balik simbol, ritual, dan kebiasaan masyarakat merupakan hal penting dalam menjaga keharmonisan sosial, terlebih di daerah yang kaya akan tradisi seperti Bali.
Setiap warga memiliki tanggung jawab moral untuk saling mengingatkan dan memberikan pemahaman kepada orang lain mengenai batasan adat dan kesucian tempat-tempat tertentu.
Tidak semua orang yang berbuat salah melakukannya dengan niat buruk; sebagian besar karena ketidaktahuan.
Dengan demikian, pendekatan yang edukatif dan penuh empati lebih tepat dibandingkan hanya menghakimi.
Masyarakat lokal, pemangku adat, dan tokoh spiritual dapat berperan aktif dalam menyebarkan pemahaman tentang nilai-nilai kesucian, agar peristiwa serupa tidak terulang di masa depan.
Baca juga:
🔗 Gotong Royong dalam Upacara Keagamaan: Kekuatan Sosial dan Budaya Pulau Bali
Bali adalah pulau dengan keramahan dan keterbukaan terhadap pendatang, namun keterbukaan itu seharusnya diimbangi dengan rasa hormat terhadap nilai-nilai setempat.
Siapa pun yang tinggal, bekerja, atau berwisata di Bali perlu memahami bahwa setiap tempat memiliki aturan dan kesuciannya masing-masing.
Menjadi tamu yang berbudaya berarti tidak hanya menikmati keindahan alam dan adat Bali, tetapi juga ikut menjaga dan menghormatinya.
Kesadaran ini merupakan bentuk penghargaan terhadap warisan leluhur yang telah menjaga keseimbangan spiritual Bali selama berabad-abad.
Pada akhirnya, menghormati tempat suci bukan hanya tentang agama, tetapi juga tentang rasa hormat terhadap nilai kemanusiaan, rasa untuk tidak melukai keyakinan orang lain, tidak merendahkan hal yang dianggap suci, dan tidak mempermainkan makna spiritual yang dijaga turun-temurun.
Peristiwa di Kintamani ini menjadi cermin bagi kita semua bahwa modernitas dan keterbukaan informasi harus diimbangi dengan pemahaman budaya dan empati sosial.
Dengan begitu, kita tidak hanya hidup berdampingan, tetapi juga saling menghormati dalam keberagaman yang menjadi kekuatan bangsa Indonesia.