Tiga Hari Menjelang Galungan: Kesibukan, Tradisi, dan Keteguhan Budaya di Bali

Ibu Putu Murni merangkai sarana banten sebagai persiapan Hari Raya Galungan.
Ibu Putu Murni sedang merangkai sarana banten untuk persiapan Hari Raya Galungan (Foto: Mahendra)

Kesibukan Menjelang Hari Suci

Tiga hari menjelang Hari Galungan, kehidupan masyarakat Bali memasuki masa yang penuh aktivitas.

Jalan-jalan desa tampak semakin ramai, halaman rumah berubah menjadi ruang kerja, dan suara obrolan keluarga memenuhi udara.

Sejak pagi hingga malam, masyarakat sibuk mempersiapkan berbagai sarana upacara, mulai dari penjor, banten, hingga kebutuhan adat lainnya.

Perayaan Galungan dan Kuningan di Bali berlangsung dua kali setahun, mengikuti kalender Bali yang berbeda dari kalender masehi.

Karena itu, momen suci ini memiliki ritme tersendiri, membuat masyarakat seolah hidup dalam alur waktu unik yang dijaga secara turun-temurun.

Ketika hari-hari itu tiba, seluruh pulau bergerak dalam satu energi spiritual, bersiap untuk menyambut kemenangan Dharma melawan Adharma.

Baca juga:
🔗 Warisan Kesederhanaan dan Cinta Budaya Seorang Ibu

Ibu Putu Murni: Potret Ketekunan dan Kesetiaan pada Tradisi

Di tengah kesibukan tersebut, tampak sosok Ibu Putu Murni yang sejak jauh hari sudah mulai mencicil pembuatan sarana banten.

Di beranda rumahnya, ia duduk tekun merangkai janur, menyusun bunga, dan menyiapkan berbagai perlengkapan upacara. Semua dilakukan dengan tangannya sendiri, tanpa keluhan.

Sebagai ibu dari dua anak dan nenek bagi beberapa cucu, ia sebenarnya bisa saja meminta bantuan atau membeli banten yang sudah jadi.

Namun, Ibu Putu Murni memilih tetap membuat semuanya sendiri. Baginya, setiap rangkaian banten bukan sekadar perlengkapan upacara, melainkan wujud bakti dan ketulusan. Proses ini menjadi semacam meditasi, perjalanan batin yang penuh makna.

Ia tumbuh bersama tradisi ini, dan kini meneruskannya dengan sepenuh hati kepada anak-anak serta cucunya.

“Kalau dibuat sendiri, rasanya berbeda,” ujarnya setiap kali ditanya mengapa ia tetap memilih membuat banten dengan tangannya sendiri.

Tradisi yang Terus Hidup dari Generasi ke Generasi

Apa yang dilakukan Ibu Putu Murni hanyalah satu dari ribuan kisah serupa yang terjadi di seluruh Bali menjelang Galungan.

Meski terlihat sibuk dan melelahkan, masyarakat Bali tetap menjalani seluruh proses ini dengan hati yang gembira.

Mereka memahami bahwa ritual bukan sekadar kewajiban, melainkan identitas sesuatu yang merekatkan keluarga, masyarakat, dan spiritualitas dalam satu kesatuan.

Dari generasi ke generasi, pola ini terus dilestarikan: membuat penjor sendiri, merangkai banten, saling membantu antar-saudara, hingga mempersiapkan persembahyangan keluarga.

Kesibukan menjelang Galungan justru menjadi simbol kuatnya budaya Bali yang mampu bertahan di tengah perubahan zaman.

Bagi masyarakat Bali, persiapan ini bukan hanya kegiatan sebelum hari besar, tetapi bentuk cinta kepada leluhur, penghormatan kepada alam, serta cara menjaga keharmonisan hubungan dengan Sang Hyang Widhi.

Dan tiga hari menjelang Galungan, seluruh pulau seolah bernapas dalam ritme yang sama, ritme tradisi yang terus hidup, dijaga, dan diwariskan dari generasi ke generasi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *