Pemerintah tengah mendorong implementasi proyek Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PSEL) di beberapa kota besar di Indonesia, termasuk di Pulau Bali.
Langkah ini diharapkan mampu menjadi solusi atas permasalahan sampah yang setiap harinya mencapai ribuan ton, terutama di daerah wisata seperti Bali yang menghadapi tekanan besar dari aktivitas pariwisata dan pertumbuhan penduduk.
Namun, di balik rencana ambisius tersebut, muncul berbagai pandangan kritis dari kalangan aktivis lingkungan dan organisasi masyarakat sipil.
Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI) menilai bahwa proyek PSEL bukanlah solusi yang berkelanjutan. AZWI mendorong pemerintah agar lebih mengutamakan penerapan konsep Zero Waste yang sesungguhnya yaitu dengan mengutamakan pengurangan sampah dari sumbernya, daur ulang, dan pengelolaan berbasis masyarakat.
Menurut AZWI, banyak kota di Indonesia sebenarnya telah memiliki inisiatif dan program pengelolaan sampah yang sejalan dengan prinsip ekonomi sirkular dan pengurangan limbah.
Mereka menekankan pentingnya mempertimbangkan hirarki pengelolaan sampah, siklus hidup material, dan pemberdayaan komunitas lokal sebelum mengandalkan proyek besar yang berisiko tinggi seperti PSEL.
Baca juga:
🔗 Wayan Aksara: Menjaga Bali dari Hulu, Membangun Kesadaran Sampah dari Akar
Muharram Atha Rasyadi dari Greenpeace Indonesia turut menyoroti lahirnya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 109 Tahun 2025 tentang PSEL.
Ia menyebut peraturan ini sebagai bentuk kegagalan dari Perpres 35/2018, yang sebelumnya dinilai tidak layak secara bisnis maupun teknis.
“Perpres ini bukanlah solusi yang tepat. Justru memperpanjang kontrak dan meningkatkan tarif, sehingga tampak menguntungkan bagi pihak tertentu, tetapi pada akhirnya membebani keuangan PLN, APBN, serta berpotensi merusak lingkungan,” ujar Muharram.
Beberapa pihak juga menilai skema pembiayaan proyek PSEL berisiko tinggi. Investasi besar serta biaya operasional yang tinggi untuk pembangunan dan pengelolaan insinerator (pembakar sampah) menimbulkan kekhawatiran karena CAPEX (biaya modal) dan OPEX (biaya operasional) akan ditanggung oleh PLN atau melalui subsidi pemerintah pusat.
Sementara itu, pemerintah daerah masih kesulitan dalam pembiayaan dan pengumpulan sampah secara konvensional.
Skema seperti ini, menurut Dwi Sawung dari WALHI, berpotensi “mengunci” anggaran publik dalam jangka panjang dan mengurangi ruang fiskal daerah untuk pengelolaan lingkungan yang lebih berkelanjutan.
Baca juga:
🔗 Banjir Bali Ungkap Krisis DAS Ayung, Komunitas Desak Penanganan Serius
Aktivis lingkungan dari komunitas BuniKita Bali, Wayan Aksara, menilai bahwa permasalahan utama bukan hanya pada tumpukan sampah, melainkan pada pola pikir masyarakat sebagai sumber masalah.
“Yang perlu dibenahi adalah mindset masyarakat. Jika kesadaran di hulu sudah tumbuh, maka perubahan di hilir akan mengikuti. Tidak ada solusi instan untuk masalah lingkungan,” tegasnya.
Wayan menekankan bahwa setiap solusi harus mempertimbangkan dampak terhadap lingkungan dan kesehatan masyarakat.
Bali, sebagai pulau wisata yang hidup dari alam dan budaya, harus lebih berhati-hati dalam memilih arah kebijakan pengelolaan sampahnya.
Perdebatan mengenai proyek PSEL menunjukkan pentingnya kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, dan aktivis lingkungan dalam mencari solusi pengelolaan sampah yang adil, efisien, dan ramah lingkungan.
Konsep Zero Waste yang mengutamakan pencegahan, pemilahan, dan pemberdayaan masyarakat dinilai sebagai pendekatan yang lebih inklusif dan berkelanjutan, seperti yang telah diterapkan di beberapa daerah seperti Bandung, Denpasar, dan Gresik.
Ke depan, harapannya Bali tidak hanya menjadi contoh keindahan alam dan budaya, tetapi juga menjadi model pengelolaan sampah berkelanjutan yang menghormati keseimbangan antara manusia dan lingkungan.