Dalam sebuah podcast, dr. Boyke pernah menyampaikan bahwa preferensi wanita terhadap pria umumnya memiliki pola yang konsisten dengan berbagai penelitian psikologi modern.
Beberapa kriteria yang paling sering muncul adalah: smart, lucu dan menyenangkan, stabil secara materi, atletis, serta tampan.
Di antara semua itu, faktor kecerdasan atau smart disebut sebagai aspek yang paling menentukan dalam jangka panjang.
Fenomena ini tidak hanya terlihat dalam konteks akademis atau psikologis, tetapi juga dapat diamati pada berbagai peristiwa sosial yang terjadi saat ini.
Baca juga:
🔗 Cinta Terbesar: Dirimu, Bukan Statusmu
Baru-baru ini, media sosial di Bali diramaikan oleh kabar pernikahan Ketua DPD Golkar Bali dengan sekretarisnya yang berusia jauh lebih muda, yakni 27 tahun.
Sosok tersebut merupakan tokoh politik terkemuka yang telah lima periode duduk sebagai Anggota DPR RI. Sebelum menikah kembali, beliau berstatus duda dan telah memiliki empat anak serta cucu.
Kabar bahagia ini memunculkan berbagai komentar, ucapan selamat, serta diskusi publik yang cukup hangat. Banyak yang menyoroti perbedaan usia, posisi sosial, hingga dinamika hubungan tersebut.
Namun lebih dari sekadar gosip atau sensasi, situasi ini memperlihatkan adanya pergeseran cara pandang dalam memaknai pernikahan, bahwa pilihan hidup seseorang, termasuk pasangan, semakin bersifat rasional, bukan hanya emosional.
Baca juga:
🔗 Berkeluarga di Era Modern: Perempuan Mandiri dan Keberanian Mengambil Keputusan untuk Bercerai
Jika ditinjau melalui kacamata psikologi modern, apa yang terjadi sebenarnya tidak terlalu mengejutkan.
Berbagai studi menunjukkan bahwa wanita cenderung menggunakan pertimbangan rasional ketika memilih pasangan, terutama ketika menyangkut masa depan, stabilitas, dan kualitas hubungan.
Kriteria seperti smart, kemampuan menciptakan rasa aman, humor, serta posisi sosial yang mapan sering menjadi faktor utama.
Penjelasan dr. Boyke dalam podcast tersebut menegaskan bahwa kecerdasan, baik intelektual maupun emosional menjadi faktor paling dominan karena berkaitan dengan kemampuan memimpin hubungan, memecahkan masalah, dan menghadapi kehidupan bersama.
Dengan kata lain, pilihan pasangan bukan lagi semata tentang usia atau fisik, tetapi kombinasi faktor rasional, emosional, dan nilai-nilai yang dianggap mampu menciptakan masa depan yang lebih baik.
Peristiwa yang ramai dibicarakan di Bali ini menjadi cerminan bahwa preferensi dan keputusan dalam memilih pasangan kini semakin logis dan terukur.
Penelitian psikologi, pendapat para ahli seperti dr. Boyke, dan fenomena sosial yang terjadi menunjukkan bahwa pernikahan modern cenderung mengutamakan kecerdasan, kepribadian menyenangkan, serta stabilitas hidup sebagai fondasi utama.
Pada akhirnya, setiap pasangan memiliki alasan masing-masing dalam melangkah menuju pernikahan, dan masyarakat kini semakin memahami bahwa keputusan tersebut bersifat personal sekaligus rasional.