Tradisi Cium Hidung di Sumba: Simbol Keakraban, Perdamaian, dan Warisan Budaya yang Terjaga

Dua orang dari Sumba saling menyentuhkan hidung sebagai bagian dari tradisi cium hidung yang mencerminkan keakraban dan rasa hormat.

Sumba, Nusa Tenggara Timur – Di tengah derasnya arus modernisasi, masyarakat Sumba tetap memegang teguh salah satu warisan budaya yang paling unik dan sarat makna: tradisi cium hidung, atau yang dikenal secara lokal sebagai pudduk. Tradisi ini bukan sekadar bentuk sapaan, tetapi juga mengandung filosofi mendalam tentang kejujuran, ketulusan, dan penghormatan.

 

Berbeda dengan kebiasaan berjabat tangan atau berpelukan seperti dalam budaya Barat, masyarakat adat Sumba menunjukkan rasa hormat dan keakraban dengan menempelkan ujung hidung satu sama lain. Ritual ini umumnya dilakukan dalam berbagai momen penting, seperti penyambutan tamu kehormatan, pertemuan adat, pernikahan, hingga proses perdamaian pasca-konflik.

 

“Hidung dalam tradisi kami adalah simbol kejujuran dan jiwa yang terbuka. Cium hidung adalah cara kami menyampaikan rasa hormat dan niat baik,” ujar Romo Christopher De Ngasi, salah satu tokoh agama Katolik di Kodi, Sumba Barat Daya.

 

Lebih dari sekadar gestur fisik, pudduk memiliki dimensi spiritual yang mendalam. Tradisi ini dianggap sebagai bentuk penyatuan jiwa dan pengakuan akan kehadiran roh leluhur yang senantiasa membimbing kehidupan masyarakat.

 

Di Kampung Adat Kodi, misalnya, tradisi ini masih dijalankan secara konsisten dan menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan, baik domestik maupun mancanegara. Mereka datang bukan hanya untuk menikmati keindahan alam Sumba, tetapi juga untuk menyaksikan bagaimana pudduk menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat lokal.

 

Meski generasi muda Sumba kini semakin akrab dengan budaya global, para tokoh adat, pendidik, dan komunitas lokal terus berupaya menanamkan nilai-nilai budaya sejak dini. Sekolah adat, komunitas budaya, hingga festival tahunan menjadi wadah pelestarian yang terus tumbuh dan berkembang.

 

Tradisi cium hidung menjadi bukti nyata bahwa di tengah derasnya perubahan zaman, masyarakat Sumba tetap setia pada akar identitasnya—menjadikan budaya bukan sekadar warisan masa lalu, tetapi juga pedoman dalam menjalani kehidupan masa kini.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *