Bali –
Menjelang Hari Raya Nyepi, masyarakat Bali kembali menyemarakkan tradisi tahunan yang penuh makna, yakni pawai Ogoh-ogoh. Tradisi ini merupakan bagian tak terpisahkan dari rangkaian ritual Nyepi, yang menggambarkan upaya umat Hindu Bali dalam mengusir roh jahat serta membersihkan alam semesta dari energi negatif.
Ogoh-ogoh adalah patung raksasa yang biasanya terbuat dari bambu, kertas, dan styrofoam, berbentuk makhluk-makhluk menyeramkan seperti raksasa, setan, atau sosok-sosok mitologis yang melambangkan keangkaramurkaan. Pembuatan Ogoh-ogoh dikerjakan secara gotong royong oleh pemuda banjar (komunitas adat) selama berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan, menjadi ajang kreativitas sekaligus wujud semangat kebersamaan.
Puncaknya, pada malam Pengerupukan (sehari sebelum Nyepi), Ogoh-ogoh diarak keliling desa diiringi gamelan baleganjur yang menghentak dan sorak sorai warga. Setelah itu, sebagian Ogoh-ogoh dibakar sebagai simbol pemusnahan sifat-sifat negatif dalam diri manusia.
“Ogoh-ogoh bukan hanya seni pertunjukan, tetapi juga refleksi diri. Kita diajak merenungi sifat-sifat buruk yang harus dimusnahkan dalam kehidupan sehari-hari,” ujar salah satu pemangku adat di Denpasar.
Tradisi ini juga menjadi daya tarik wisata budaya, dengan banyak wisatawan yang antusias menyaksikan parade di berbagai daerah seperti Denpasar, Ubud, Gianyar, hingga Tabanan. Kreativitas dalam mendesain Ogoh-ogoh makin berkembang tiap tahun, bahkan beberapa dilengkapi dengan teknologi modern seperti pencahayaan dan penggerak otomatis.
Setelah gegap gempita Ogoh-ogoh, keesokan harinya Bali memasuki keheningan total dalam perayaan Hari Raya Nyepi—sehari tanpa aktivitas, lampu, kendaraan, dan suara. Ini menjadi penyeimbang sempurna antara hiruk pikuk dunia luar dan ketenangan batin.
Tradisi Ogoh-ogoh menjadi bukti bahwa masyarakat Bali terus menjaga kearifan lokal dan nilai spiritual dalam kehidupan modern. Ia bukan hanya warisan budaya, tetapi juga cermin filosofi mendalam tentang hidup, harmoni, dan kesadaran diri.