Tren Konsumsi Instan di Bali: Antara Efisiensi Waktu dan Kesehatan Keluarga

Penjual ikan di pasar tradisional Bali sedang melayani pembeli.
Konsumsi ikan masyarakat Bali menempati urutan kelima menurut hasil survei Susenas. Foto Mahendra

Di era serba cepat seperti saat ini, waktu seakan menjadi sesuatu yang sangat berharga.

Kesibukan dan mobilitas tinggi membuat masyarakat cenderung memilih hal-hal yang praktis, termasuk dalam urusan makanan dan minuman.

Pola konsumsi pun bergeser, dari makanan rumahan yang membutuhkan waktu memasak, menuju makanan dan minuman instan yang lebih cepat disajikan.

Hal ini terlihat jelas dalam Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2024 untuk Provinsi Bali. Data menunjukkan rata-rata pengeluaran per kapita per bulan menurut kelompok bahan makanan sebagai berikut:

  • Makanan dan Minuman Jadi: Rp291.413

  • Padi-padian: Rp108.164

  • Daging: Rp71.217

  • Sayur-sayuran: Rp61.777

  • Ikan: Rp41.319

Sumber: Susenas 2024

Dari data tersebut, terlihat bahwa pengeluaran terbesar masyarakat Bali ada pada makanan dan minuman jadi.

Posisi ini jauh di atas kelompok lain, menegaskan kecenderungan masyarakat untuk lebih memilih makanan instan dibandingkan bahan makanan mentah yang membutuhkan waktu memasak.

Menariknya, meski Bali dikenal sebagai pulau yang dikelilingi lautan, pengeluaran untuk ikan justru berada di peringkat terakhir.

Sementara itu, daging dan sayur yang seharusnya penting untuk kesehatan dan gizi seimbang hanya menempati urutan ketiga dan keempat. Fenomena ini menjadi ironi tersendiri, mengingat Bali kaya akan hasil laut yang melimpah.

Baca juga:
🔗 Hadir Sepenuh Hati di Tengah Kesibukan

Antara Praktis dan Tradisi

Walaupun tren konsumsi instan semakin menguat, tidak semua keluarga meninggalkan pola masak tradisional.

Ayu, salah satu ibu rumah tangga di Denpasar, menuturkan bahwa ia masih memasak setiap hari untuk keluarganya.

Menu harian seperti sayur dan daging tetap ia siapkan, meskipun kadang menggunakan bumbu instan untuk menghemat waktu.

“Saya masih memilih masak sendiri, karena tetap memikirkan pertumbuhan dan kesehatan keluarga. Bumbu instan hanya sesekali dipakai agar lebih praktis,” ungkap Ayu.

Kisah Ayu mencerminkan realitas banyak keluarga di Bali. Ada kesadaran untuk tetap menjaga kesehatan keluarga, tetapi juga ada kebutuhan untuk menyesuaikan diri dengan ritme kehidupan modern yang menuntut kecepatan dan efisiensi.

Baca juga:
🔗 Jajan Bali: Nostalgia Rasa yang Tak Pernah Pudar

Dampak Sosial dan Budaya

Bergesernya pola konsumsi ini tidak hanya menyentuh aspek kesehatan, tetapi juga berpengaruh pada budaya kuliner Bali.

Selama ini, dapur tradisional Bali dikenal kaya dengan rempah dan bumbu racikan yang diwariskan turun-temurun.

Penggunaan bumbu instan secara perlahan dapat menggeser kearifan lokal dalam meracik masakan, serta mengurangi intensitas interaksi keluarga di dapur.

Selain itu, meningkatnya konsumsi makanan instan berpotensi menimbulkan masalah kesehatan jangka panjang, seperti ketidakseimbangan gizi, obesitas, hingga penyakit degeneratif.

Sementara pola makan berbasis sayur, ikan, dan bahan alami sejatinya lebih sejalan dengan gaya hidup sehat sekaligus mendukung ketahanan pangan lokal.

Baca juga:
🔗 Intermittent Fasting: Gaya Hidup Sehat ala Puja Astawa

Menjaga Keseimbangan ke Depan

Melihat fenomena ini, tantangan ke depan adalah bagaimana masyarakat Bali dapat menjaga keseimbangan antara praktis dan sehat.

Pemerintah daerah bersama pihak terkait bisa mendorong edukasi gizi, sekaligus memperkuat promosi bahan pangan lokal.

Di sisi lain, keluarga sebagai unit terkecil masyarakat dapat menjadi benteng terakhir untuk melestarikan pola makan sehat berbasis kearifan lokal.

Pada akhirnya, pilihan konsumsi bukan hanya soal cepat atau praktis, tetapi juga tentang investasi jangka panjang untuk kesehatan keluarga dan kelestarian budaya kuliner Bali.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *