Terkadang, bahasa bukanlah penghalang untuk saling memahami. Bahasa tubuh, senyuman tulus, dan vibrasi hati yang baik mampu membuka jalan bagi pertemuan dua dunia yang berbeda.
Itulah yang dialami seorang anak muda dalam perjalanannya ke Desa Setulang, sebuah desa adat di pedalaman Kalimantan Utara, yang mayoritas penduduknya berasal dari suku Dayak Kenyah, suku yang terkenal ramah, teguh menjaga adat, dan hidup selaras dengan alam.
Baca juga:
🔗 Perempuan Dayak dan Anting Panjang: Penjaga Tradisi di Tengah Gelombang Zaman
Perjalanan itu dimulai dari Malinau, sebuah kota kecil yang menjadi pintu gerbang menuju desa-desa yang masih teguh memegang budaya dan tradisi leluhur.
Pemuda ini datang atas rekomendasi paman temannya, seorang guru sekolah dasar yang telah lama mengabdi di Desa Setulang.
Didorong oleh rasa ingin tahu yang besar dan keinginan untuk memahami kehidupan masyarakat adat, ia pun menerima ajakan untuk ikut ke desa tersebut.
Perjalanan menuju Setulang bukanlah hal yang mudah. Dari Malinau, mereka menempuh perjalanan lebih dari satu jam dengan sepeda motor, melewati jalan berbatu, hutan lebat, serta jembatan kayu yang membentang di atas sungai berair jernih.
Namun, segala rasa lelah terbayar ketika akhirnya tiba di desa yang asri dan tenang, dikelilingi pepohonan besar dan deretan rumah panggung khas suku Dayak.
Berbekal surat perkenalan dan niat tulus untuk belajar tentang kehidupan masyarakat adat, ia diterima dengan hangat oleh kepala desa Setulang.
Sang kepala desa menyambutnya seperti keluarga sendiri, memberikan tempat tinggal sederhana sekaligus kesempatan untuk menyatu dengan keseharian warga. Dari sinilah kisah penuh makna itu bermula.
Keesokan paginya, udara terasa sejuk dan bersih. Kabut tipis masih bergelayut di antara pepohonan.
Dengan langkah ringan dan kamera di tangan, pemuda itu berjalan menelusuri jalan desa yang sunyi.
Burung-burung bernyanyi, anak-anak kecil berlari di halaman rumah, dan aroma tanah basah menyapa indra penciumannya.
Di tengah perjalanan, matanya tertuju pada sepasang kakek dan nenek Dayak yang berjalan perlahan menuju ladang.
Mereka membawa parang, keranjang rotan, dan peralatan tanam. Tanpa banyak pikir, pemuda itu mengikuti langkah mereka dari belakang, berusaha menjaga jarak sambil sesekali mengabadikan momen dengan kameranya.
Beberapa kilometer kemudian, mereka tiba di kebun kecil di tepi hutan. Sang kakek mulai membersihkan lahan dan memperbaiki pondok bambu yang atapnya belum selesai, sementara sang nenek menyiapkan bahan makanan yang dibawanya dari rumah.
Meski tak ada satu pun kata yang bisa dipahami dari bahasa masing-masing, mereka saling tersenyum, saling mengangguk tanda komunikasi universal yang melampaui batas kata.
Baca juga:
🔗 Manusia Seperti Pohon: Akar yang Dalam untuk Puncak yang Tinggi
Menjelang siang, aroma nasi yang dimasak sang nenek mulai tercium, berpadu dengan wangi kayu bakar dan tanah basah.
Dari dalam keranjang rotannya, ia mengeluarkan lauk sederhana: ikan sungai kering, sambal, dan sayur hutan rebus.
Lalu dengan gerakan lembut, ia memberi isyarat agar pemuda itu duduk dan bergabung makan bersama.
Pemuda itu menundukkan kepala, menerima ajakan itu dengan penuh hormat. Sebelum makan dimulai, sang nenek menutup mata dan memimpin doa dalam bahasa Dayak.
Pemuda itu tak mengerti satu pun kata yang diucapkan, kecuali satu yang terasa begitu akrab, “Amin”. Saat itulah ia tersentuh, ternyata doa, seperti juga kebaikan, tidak memerlukan terjemahan.
Mereka pun makan bersama di pondok sederhana, di tengah kebun yang dikelilingi rimbunnya hutan tropis dan semilir angin pegunungan.
Tak ada percakapan panjang, namun suasana hangat terasa begitu dalam. Setiap suapan nasi seperti membawa pesan tentang kebersamaan, ketulusan, dan kehidupan yang sederhana.
Ketika sore tiba dan matahari mulai condong ke barat, pemuda itu berpamitan. Kakek-nenek itu hanya tersenyum sambil melambaikan tangan tanpa kata, namun sarat makna.
Dalam perjalanan pulang, langkahnya terasa ringan. Ada sesuatu yang tumbuh di dalam dirinya, rasa hormat yang mendalam terhadap kebaikan tanpa pamrih.
Kisah di Setulang menjadi pengingat bahwa bahasa bukan satu-satunya cara untuk memahami manusia.
Ketika seseorang datang dengan hati terbuka, menghargai budaya, dan membawa niat baik, dinding pemisah akan runtuh dengan sendirinya.
Pemuda itu akhirnya pulang membawa lebih dari sekadar foto-foto, ia membawa pelajaran kehidupan, tentang bagaimana kehangatan dan kejujuran hati mampu menjembatani segala perbedaan.
Dan dari pondok kecil di kebun Setulang itu, ia memahami satu hal sederhana namun mendalam:
“Kebaikan tidak membutuhkan kata-kata, cukup getaran hati yang tulus.”