Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur, telah menjelma menjadi salah satu destinasi pariwisata unggulan di Indonesia.
Keindahan alamnya yang memukau, seperti Pantai Pink, Pulau Komodo, dan Pulau Padar, menarik wisatawan domestik maupun mancanegara.
Banyak dari mereka menjelajahi kawasan ini lewat tur kapal selama beberapa hari di laut berlayar di antara pulau-pulau eksotis, menyelam, bersantai di pantai, hingga menikmati panorama matahari terbenam.
Tak heran, Labuan Bajo kini dipandang sebagai “surga baru” bagi para investor dan pelaku bisnis di sektor pariwisata dan hospitality.
Hotel, vila, kafe, hingga biro perjalanan wisata tumbuh bak jamur di musim hujan. Namun di balik geliat pembangunan dan peluang yang menjanjikan, muncul permasalahan krusial yang kerap luput dari perhatian, kualitas dan ketersediaan sumber daya manusia (SDM).
Baca juga:
🔗 Goa Cermin di Labuan Bajo: Keajaiban Alam yang Menanti Disentuh
Pertanyaan-pertanyaan itu menjadi renungan awal saya ketika memutuskan terjun ke dunia bisnis hospitality.
Di luar impian pribadi untuk tetap aktif di usia senja memiliki usaha kecil yang tidak terlalu membebani, tapi tetap memungkinkan saya bertemu dengan orang-orang dari seluruh penjuru dunia saya yakin banyak orang lain yang memiliki impian serupa.
Bahkan, tak sedikit tamu saya yang masih muda sudah membayangkan suatu hari nanti bisa memiliki usaha seperti ini, jauh dari hiruk pikuk kota, dikelilingi kebun produktif, hidup sehat dan tetap bisa bersosialisasi.
Namun, saya mengaku sempat naif. Saya pikir bisnis ini akan berjalan sederhana. Kenyataannya? Ini adalah salah satu jenis usaha tersulit yang pernah saya jalani.
Bisnis hospitality bukan bisnis yang bisa dijalankan sendiri. Ia sangat bergantung pada sinergi tim.
Mulai dari tim pemasaran, front office, resepsionis, housekeeping, staf dapur, hingga tukang kebun semua harus bekerja dalam satu harmoni.
Belum lagi mitra eksternal seperti sopir, teknisi, dan agen tur. Bisnis ini ibarat orkestra, satu saja yang meleset nadanya, maka rusaklah seluruh pertunjukan.
Apalagi di era media sosial seperti sekarang. Hanya butuh satu ulasan negatif dari tamu, dan kerja keras bertahun-tahun bisa runtuh seketika.
Dunia bisa membacanya, menilainya, bahkan menjauhi usaha kita. Adil? Tentu tidak. Tapi inilah kenyataan yang harus dihadapi pelaku bisnis hospitality.
Teamwork yang solid hanya bisa dibentuk jika setiap individu dalam tim bergerak dalam satu irama.
Dibutuhkan SDM yang memiliki visi, misi, etos kerja, keramahan, kegigihan, kreativitas, kemampuan menyelesaikan masalah, serta keahlian bernegosiasi. Semua itu bukan hal yang bisa dicapai dalam semalam.
Lalu pertanyaannya, Apakah SDM yang ada di Labuan Bajo saat ini sudah mumpuni?
Jika belum, sudahkah kita menelusuri akar masalahnya? Bagaimana sistem pendidikan di daerah ini?
Apakah lulusan-lulusan sekolah di Labuan Bajo telah dibekali dengan keahlian yang dibutuhkan untuk menjawab tantangan industri hospitality?
Labuan Bajo memang telah berkembang pesat sebagai destinasi wisata dunia, namun pertumbuhan ini harus disertai dengan kesiapan SDM lokal.
Jika tidak, pelaku usaha akan terus kelimpungan mencari tenaga kerja berkualitas dari luar, dan pada akhirnya, mimpi membangun bisnis lokal yang mandiri akan sulit terwujud.
Baca juga:
🔗 Theresia, Perempuan Manggarai: Menyulam Harapan Lewat Pendidikan
Sudah saatnya semua pemangku kepentingan pemerintah, institusi pendidikan, hingga pelaku usaha berkolaborasi memperkuat fondasi utama industri ini, sumber daya manusia.