Di tengah derasnya arus modernisasi yang mengikis banyak nilai-nilai tradisional, Desa Tenganan Pegringsingan di Bali tetap teguh berdiri sebagai penjaga warisan budaya leluhur.
Terletak di Kabupaten Karangasem, desa ini dikenal sebagai salah satu desa Bali Aga, yaitu komunitas asli Bali yang mempertahankan adat-istiadat sebelum masuknya pengaruh Majapahit ke Pulau Dewata.
Ciri khas Tenganan Pegringsingan terletak pada tata kelola desa yang berlandaskan hukum adat (awig-awig) yang diwariskan secara turun-temurun.
Hukum adat ini tidak hanya mengatur kehidupan sosial, tetapi juga struktur organisasi desa, ritual keagamaan, hak waris, hingga pengelolaan sumber daya alam.
Dalam masyarakat Tenganan, keputusan penting diambil secara kolektif melalui forum musyawarah yang menjunjung tinggi semangat kebersamaan dan mufakat.
Baca juga:
🔗 Peran Perempuan Tenganan Pegringsingan dalam Melestarikan Sosial Budaya Leluhur
Salah satu bentuk nyata pelestarian tradisi adalah ritual keagamaan dan upacara adat yang masih dijalankan dengan khidmat.
Perayaan seperti Usaba Sambah, yang berlangsung selama satu bulan penuh, menjadi ajang sakral yang menyatukan unsur seni, budaya, dan spiritualitas.
Dalam upacara ini, warga mengenakan busana adat khas, membawa sesajen berupa buah dan hasil bumi, serta memainkan gamelan selonding alat musik kuno yang hanya dimiliki oleh desa-desa Bali Aga.
Saat ini, proses pelaksanaan Usaba Sambah telah dimulai, dengan berbagai persiapan dan agenda yang dirancang secara detail.
Puncak dari rangkaian upacara ini akan berlangsung pada 22–23 Juni 2025, ditandai dengan tradisi perang pandan, menurut penuturan Mang Jhony, salah satu warga desa Tenganan Pegringsingan.
Kehidupan masyarakat Tenganan juga sangat erat kaitannya dengan kerajinan tradisional, terutama tenun double ikat atau gringsing yang hanya diproduksi di desa ini.
Kain gringsing telah diakui dunia sebagai warisan budaya yang langka. Proses pembuatannya sangat rumit dan bisa memakan waktu bertahun-tahun untuk menghasilkan sehelai kain.
Gringsing dipercaya memiliki kekuatan magis dan kerap digunakan dalam upacara-upacara suci.
Baca juga:
🔗 Warna Warisan dari Tenganan
Menariknya, di saat banyak desa terbuka terhadap modernisasi dan pariwisata massal, Tenganan justru memilih untuk membatasi akses dan menjaga orisinalitasnya.
Wisatawan boleh datang dan belajar, namun tetap berada di bawah pengawasan serta aturan adat yang ketat.
Pendekatan ini menjadikan Tenganan sebagai model desa adat yang mampu beradaptasi tanpa kehilangan jati diri.
Kehadiran perempuan-perempuan desa yang masih mengenakan busana adat dan berkumpul di bale banjar (sebagaimana tergambar dalam foto) menjadi bukti bahwa semangat kebersamaan dan peran sosial masih dijaga dan dihargai.
Di balik senyum mereka, tersimpan kekuatan kolektif untuk menjaga nilai-nilai luhur agar tetap hidup di tengah zaman yang terus berubah.
Desa Tenganan bukan sekadar tempat tinggal, tetapi merupakan benteng budaya yang mengajarkan bahwa akar tradisi tidak harus dilenyapkan oleh modernisasi.
Justru, keduanya dapat berdampingan secara harmonis asal dijaga dengan kesadaran dan cinta terhadap warisan leluhur.