Menjadi mahasiswa bukan hanya tentang menuntut ilmu, tetapi juga tentang menghadapi berbagai tekanan dari keluarga, lingkungan, hingga pergaulan di kampus.
Tak sedikit mahasiswa yang harus berjuang sendirian, terutama mereka yang merantau jauh dari rumah dan keluarga.
Kasus tragis yang baru-baru ini terjadi di Universitas Udayana (Unud), Bali, menjadi sorotan publik.
Seorang mahasiswa bernama Timothy, kelahiran 2003 asal Bandung, ditemukan meninggal dunia setelah diduga mengakhiri hidupnya di lingkungan kampus pada 15 Oktober 2025.
Ia adalah mahasiswa semester tujuh Program Studi Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unud.
Baca juga:
🔗 Tragedi di Jembatan Tukad Bangkung: Saat Generasi Muda Tertekan, Kesehatan Mental Jadi Sorotan
Dalam berbagai unggahan di media sosial, Timothy dikenal sebagai sosok muda yang aktif dalam kegiatan organisasi.
Ia bahkan pernah terlihat mengikuti aksi demonstrasi dan diskusi-diskusi sosial di lingkungan kampus.
Rekan-rekannya mengenalnya sebagai pribadi pendiam, cerdas, sopan, dan selalu siap membantu.
Ia kerap terlibat dalam pembahasan seputar isu kemanusiaan, ketimpangan sosial, dan dinamika masyarakat. Meskipun berasal dari luar Bali, ia mampu beradaptasi dengan baik dan memiliki banyak teman.
Namun di balik kepribadian baik itu, Timothy disebut mengalami tekanan sosial dari teman sebayanya.
Bentuk perundungan atau bullying terjadi secara berulang, terutama melalui percakapan daring di grup media sosial.
Ejekan yang awalnya dianggap gurauan, lambat laun berubah menjadi tekanan mental yang berat.
Sayangnya, lingkungan sekitar gagal membaca tanda-tanda bahwa Timothy sedang berjuang menghadapi luka batin yang dalam.
Hingga pada suatu pagi, sekitar pukul 09.00 WITA, Timothy ditemukan meninggal dunia setelah melompat dari lantai empat gedung FISIP Unud.
Kejadian itu sontak mengguncang dunia pendidikan dan menjadi viral di berbagai platform media sosial.
Kasus ini memicu gelombang empati sekaligus kemarahan publik. Kementerian Pendidikan Tinggi bersama berbagai komunitas mahasiswa menuntut evaluasi menyeluruh terhadap budaya perundungan di lingkungan kampus.
Banyak pihak menilai bahwa dunia akademik selama ini terlalu menitikberatkan pada kecerdasan intelektual, namun melupakan pentingnya kecerdasan emosional dan kesehatan mental.
Tekanan untuk berprestasi, bersosialisasi, dan memenuhi ekspektasi sering kali menjadi beban berat bagi mahasiswa, terutama yang hidup jauh dari keluarga.
Baca juga:
🔗 Hidup Tak Selalu Tentang Berlari Cepat
Kisah Timothy menjadi pengingat bahwa setiap kata memiliki kekuatan bisa menyelamatkan, atau justru melukai seseorang.
Ia kini dikenang bukan hanya sebagai korban kekerasan psikologis, tetapi juga sebagai simbol pentingnya membangun budaya empati dan kepedulian di institusi pendidikan.
Menjadi mahasiswa bukan sekadar meraih nilai dan gelar, melainkan juga tentang belajar memahami diri sendiri dan sesama.
Di tengah tekanan akademik yang tinggi, keberadaan teman yang mau mendengar dan lingkungan yang suportif bisa menjadi penolong yang sesungguhnya.
Semoga tragedi ini menjadi pintu kesadaran bagi semua pihak bahwa kampus seharusnya menjadi tempat bertumbuh, bukan tempat terluka.
Baca juga:
🔗 Suara Hati yang Tersimpan