Di antara dentuman gamelan dan asap dupa yang mengepul di Pura Desa, seorang anak laki-laki duduk bersila di samping ayahnya, menirukan gerakan persembahyangan dengan serius.
Pemandangan seperti ini bukan sekadar ritual keagamaan biasa, melainkan gambaran nyata tentang bagaimana budaya Bali dipertahankan: melalui transfer nilai lintas generasi yang dilakukan dengan penuh kesadaran.
Di era di mana gawai dan tren global mendominasi kehidupan sehari-hari, komitmen untuk menjaga tradisi menjadi tantangan sekaligus keharusan.
Tidak dapat dimungkiri, modernisasi dan globalisasi telah membawa perubahan besar dalam cara hidup masyarakat Bali. Generasi muda kini lebih akrab dengan TikTok daripada tari Legong, lebih fasih bermain game online daripada menguasai kidung suci.
Namun, di balik gelombang perubahan ini, ada upaya gigih dari sebagian keluarga dan komunitas untuk memastikan bahwa akar budaya tidak tercerabut.
Upacara odalan, misalnya, tetap menjadi momen di mana anak-anak diajak untuk tidak hanya hadir secara fisik, tetapi juga meresapi makna filosofis di balik setiap ritual.
Di sinilah peran generasi muda sebagai cultural bridge menjadi krusial. Mereka berada di persimpangan antara tradisi dan kemajuan.
Tantangannya adalah bagaimana memaknai warisan leluhur bukan sebagai beban, melainkan sebagai fondasi identitas yang bisa beradaptasi dengan zaman.
Seorang remaja yang mahir membuat canang sari sambil tetap aktif di media sosial, misalnya, adalah contoh nyata bahwa tradisi dan modernitas bisa berjalan beriringan.
Namun, pelestarian budaya tidak bisa hanya mengandalkan romantisme masa lalu. Dibutuhkan pendekatan kreatif agar nilai-nilai tradisional tetap relevan.
Misalnya, mengadopsi teknologi untuk mendokumentasikan ritual adat, atau mengemas cerita pewayangan dalam konten digital yang menarik minat generasi Z.
Di Kabupaten Gianyar, sekelompok pemuda bahkan membuat aplikasi berisi tutorial membuat sarana upacara, yang kini diunduh ribuan kali. Ini membuktikan bahwa inovasi bisa menjadi alat ampuh untuk mempertahankan tradisi.
Peran keluarga dan komunitas juga tak boleh diabaikan. Orang tua di Bali tidak hanya bertugas mengajarkan tata cara upacara, tetapi juga menanamkan kesadaran bahwa setiap gerakan dalam ritual memiliki makna filosofis mendalam.
Ketika seorang ibu mengajak anaknya menyusun banten, ia tidak sekadar mengajarkan keterampilan, tetapi juga menanamkan nilai tentang keseimbangan alam, rasa syukur, dan harmoni sosial.
Proses ini adalah bentuk pendidikan nonformal yang justru lebih mengena karena melibatkan emosi dan pengalaman langsung.
Lantas, bagaimana agar semangat ini tidak redup? Kuncinya ada pada kolaborasi. Pemerintah perlu mendukung melalui kurikulum pendidikan yang mengintegrasikan muatan lokal, sementara komunitas harus membuka ruang partisipasi bagi anak muda.
Jangan sampai generasi penerus merasa teralienasi karena dianggap “tidak cukup sakral” untuk terlibat dalam ritual adat. Di Desa Tenganan, misalnya, remaja usia SMP sudah dilibatkan dalam prosesi Ngaben sebagai bagian dari pembelajaran.
Di sisi lain, kita juga perlu kritis terhadap praktik budaya yang justru membelenggu. Tradisi bukanlah sesuatu yang saklek, melainkan dinamis.
Nilai-nilai seperti gotong royong (ngayah) atau penghormatan pada alam bisa dipertahankan, sementara bentuk pelaksanaannya dapat disesuaikan dengan konteks kekinian. Yang harus dijaga adalah esensinya, bukan sekadar simbol-simbolnya.
Pada akhirnya, melestarikan budaya Bali bukanlah tentang memaksa generasi muda hidup dalam “museum tradisi”, melainkan membekali mereka dengan pemahaman mendalam sehingga bisa menjadi penjaga nilai-nilai luhur dengan cara mereka sendiri.
Seperti api yang terus menyala karena diteruskan dari satu obor ke obor lain, warisan budaya hanya akan bertahan jika setiap generasi mau menjadi penerang bagi generasi berikutnya.
Kita tidak boleh lupa: budaya yang hidup adalah budaya yang bernapas, bukan sekadar diulur-ulur dari masa lalu. Maka, mari beri ruang bagi kreativitas anak muda untuk merawat tradisi tanpa kehilangan identitasnya sebagai generasi digital.
Hanya dengan cara ini, Bali bisa tetap menjadi the Island of Gods—bukan hanya dalam iklan pariwisata, tetapi dalam roh kehidupan masyarakatnya.