Pulau Bali tidak hanya dikenal karena keindahan alam dan kekayaan budayanya, tetapi juga karena tatanan sosialnya yang unik dan berakar kuat pada tradisi.
Di balik kehidupan modern yang kini berkembang di berbagai penjuru pulau, masih berdiri kokoh sistem sosial adat yang diwariskan turun-temurun: Banjar dan desa adat.
Keduanya menjadi fondasi penting dalam menjaga harmoni antara manusia, alam, dan Sang Pencipta, sebuah konsep yang dikenal luas di Bali sebagai Tri Hita Karana.
Dalam struktur masyarakat Bali, Banjar berperan sebagai unit sosial terkecil yang mengatur kehidupan sehari-hari warga.
Ia bukan sekadar lembaga administratif, melainkan wadah kebersamaan, tempat musyawarah berlangsung, dan tempat semangat gotong royong hidup dalam praktik nyata.
Sementara itu, desa adat memegang peran spiritual dan kultural yang memastikan setiap langkah pembangunan dan kegiatan masyarakat tetap berjalan selaras dengan nilai-nilai tradisi serta ajaran agama.
Baca juga:
🔗 Gotong Royong dalam Upacara Keagamaan: Kekuatan Sosial dan Budaya Pulau Bali
Namun, seiring pesatnya perkembangan sektor properti di Bali, tak jarang muncul ketidakharmonisan antara visi pengembang dan nilai-nilai adat setempat.
Modernisasi yang tak disertai pemahaman terhadap budaya Bali kerap menimbulkan gesekan sosial dan spiritual di tengah masyarakat.
Menurut Klian Adat Banjar Anyar Kelod, I Made Sudita, banyak pembangunan di kawasan Umalas yang dinilai kurang menghargai adat dan budaya Bali.
Ia menuturkan bahwa komunikasi antara pihak pengembang dan tokoh adat sering kali tidak terjalin dengan baik.
Hal tersebut disampaikannya saat menghadiri acara Grand Opening The Umalas Signature. di Jalan Bumbak No.156, Umalas.
“Kami bersyukur karena pihak pengelola mengundang kami dan membuka ruang komunikasi. Sebagai Klian Banjar, saya bangga karena mereka telah menunjukkan rasa hormat terhadap adat Bali dengan menggelar upacara ini.
Sebelumnya memang sempat terjadi kesalahpahaman karena aturan Banjar belum dijalankan sebagaimana mestinya. Kini, melalui dialog dan doa bersama, kami berharap segala urusan ke depan dapat berjalan dengan lancar”, ujar I Made Sudita, Klian Adat Banjar Anyar Kelod.
Baca juga:
🔗 The Umalas Signature Resmi Dibuka: Hunian Premium yang Selaras dengan Budaya dan Keindahan Bali
Klian Banjar menegaskan bahwa aturan Banjar bukan sekadar formalitas, melainkan bentuk kearifan lokal yang menjaga keseimbangan kehidupan masyarakat Bali.
Setiap petugas Banjar dipilih langsung oleh warga, dan seluruh keputusan diambil berdasarkan kepentingan bersama. Ketika aturan ini diabaikan, keharmonisan sosial pun berpotensi terganggu.
Sebagai bentuk tanggung jawab sosial dan penghormatan terhadap adat, pihak The Umalas Signature kemudian menggelar upacara melaspas dan mecaru, dua ritual penting dalam tradisi Bali.
Upacara ini bertujuan untuk menyucikan area bangunan baru sekaligus menyeimbangkan energi antara manusia dan alam sekitarnya.
Acara tersebut dihadiri oleh Klian Banjar, Lurah, serta para tokoh adat setempat, dan berlangsung dalam suasana khidmat penuh makna.
Bagi masyarakat sekitar, langkah ini menjadi sinyal positif bahwa pihak pengembang mulai memahami arti penting hidup berdampingan dengan masyarakat adat.
“Kami merasa dihormati. Upacara ini menunjukkan niat baik untuk beradaptasi dengan budaya Bali, bukan hanya sekadar membangun di atas tanahnya,” ungkap salah seorang warga Kerobokan.
Baca juga:
🔗 Akhir Konflik dan Awal Baru The Umalas Signature
Upacara melaspas dan mecaru bukan hanya simbol penyucian, melainkan juga bentuk doa dan restu agar usaha baru membawa keberkahan, keselamatan, dan kesejahteraan bagi semua pihak.
Dalam pandangan masyarakat adat, bangunan yang belum melalui upacara penyucian dianggap belum “hidup” secara spiritual.
Langkah yang diambil oleh The Umalas Signature menjadi contoh baik bagi para pengembang dan pelaku usaha lainnya di Bali.
Keterlibatan Banjar dan warga lokal sejak tahap awal pembangunan tidak hanya memperlancar proses sosial dan perizinan, tetapi juga menumbuhkan rasa saling memiliki serta tanggung jawab bersama terhadap lingkungan sekitar.
Selain itu, keterlibatan masyarakat lokal turut memberikan dampak ekonomi positif. Banyak warga sekitar yang kemudian dapat terlibat dalam kegiatan proyek, penyediaan jasa, hingga sektor pendukung lainnya.
Dengan demikian, pembangunan tidak hanya menguntungkan pemilik modal, tetapi juga menggerakkan roda ekonomi masyarakat setempat.
Sebagai penutup, Klian I Made Sudita berpesan agar setiap pihak yang datang dan menetap di Bali memahami bahwa hidup di Pulau Dewata bukan hanya tentang menikmati keindahan alamnya, melainkan juga tentang menghormati adat dan budaya yang telah dijaga selama berabad-abad.
“Bali ini hidup karena adatnya. Kalau adat tidak dihormati, Bali akan kehilangan rohnya,” ucapnya penuh makna.
Kejadian di Kerobokan menjadi pengingat bahwa kemajuan dan tradisi dapat berjalan beriringan, selama ada komunikasi dan rasa saling menghormati.
Melibatkan Banjar dan desa adat bukan hanya kewajiban sosial, tetapi wujud penghormatan terhadap jiwa sejati Bali, tempat di mana modernitas dan spiritualitas berpadu dalam keseimbangan dan kedamaian.
Baca juga:
🔗 Bali Tak Lagi Jadi Pulau Terindah di Asia 2025: Saatnya Kembali pada Keseimbangan Alam dan Budaya