Di balik setiap bidikan kamera, Adrianus Adrie menyimpan cerita tentang peluang yang menguap, resiliensi yang teruji, dan keindahan yang ditemukan di sudut-sudut tak terduga.
Adrianus memulai perjalanan profesionalnya di Kompas Gramedia, tepatnya di Tabloid Nova. Di sana, ia bukan sekadar fotografer, tapi penutur visual yang menghidupkan cerita melalui lensa.
Karyanya menyentuh hati banyak narasumber, membangun relasi kuat yang kelak menjadi jaring penyelamatnya.
Lepas dari zona nyaman Nova, Adrianus memilih pensiun dini. Namun, hidup tak semudah memencet shutter.
Tabungan terkuras dalam setahun, menyisakan kamera dan perlengkapan lampu sebagai saksi bisu perjuangannya. Ia mencoba menjadi fotografer lepas, tapi pasar tak seindah ekspektasi.
“Seperti memotret dalam gelap,” katanya,
“Kau tahu ada objek, tapi tak tahu cara mengarahkan cahaya.”
Di titik terendah, ia nyaris kehilangan segalanya kecuali tekad.
Jaringan yang dibangun selama di Nova menjadi tali penyelamat. Sebuah agensi merekrutnya sebagai koordinator proyek video.
Di sini, Adrianus belajar menari di panggung yang berbeda: dari fotografer menjadi penata gerak produksi.
Latar belakang fotografinya menjadi nilai tambah, membantunya memahami nuansa visual yang dibutuhkan klien.
“Seperti memakai lensa wide-angle,” katanya,
“Aku harus melihat lebih luas, bukan sekadar fokus pada satu frame.”
Namun, takdir kembali tak berpihak. Perusahaan melakukan efisiensi, dan Adrianus harus pergi. Kali ini, ia mengemas kameranya dan terbang ke Bali.
Di antara debur ombak dan sesaji canang, ia mencari makna baru. Proyek terakhirnya: mendokumentasikan Pasar Badung dari fajar hingga larut malam.
Di sana, ia bertemu seorang pedagang sayur yang ditemuinya pagi hari di belakang pasar, dan masih berjualan di tempat yang sama saat malam tiba.
“Kakinya bengkak, tapi senyumnya tak pernah lelah,” katanya.
Potret itu menjadi cermin hidupnya sendiri kerja keras, keletihan, namun juga keteguhan yang diam-diam indah.
Di Bali, Adrianus mulai memahami bahwa kamera tak hanya merekam gambar, tapi juga jiwa. Setiap kali ia memotret, ia seperti berdialog dengan dirinya sendiri:
Kisah Adrianus bukan tentang sukses atau gagal, tapi tentang keberanian untuk terus menekan shutter meski tak yakin dengan hasilnya. Ia mungkin masih merenung.
Tapi di Pasar Badung, ia menemukan jawaban: hidup adalah kumpulan frame yang tak sempurna, tapi justru di situlah keindahannya.
Seperti pedagang sayur yang ia potret, Adrianus kini terus berjualan bukan sayur, tapi cerita. Dan di setiap cerita itu, ada pelajaran:
“Zona nyaman itu seperti kamera lama. Kau tahu semua tombolnya, tapi dunia di luar terus berubah. Kadang, kau harus berani ganti lensa, atau bahkan kamera, untuk melihat hidup dari sudut yang baru.”
Akhir kata, bidikan terbaik Adrianus bukan yang tergantung di galeri, tapi yang terpahat dalam sikapnya: tetap memotret, tetap bertahan, dan tetap percaya bahwa setiap akhir hanyalah frame baru yang menunggu untuk dijelajahi.