Selatan Pulau Bali, khususnya wilayah Ungasan dan sekitarnya, tengah mengalami transformasi besar dalam satu dekade terakhir.
Dulu hanya berupa hamparan tanah kapur, terjal, dan minim infrastruktur, kini daerah ini menjelma menjadi salah satu kawasan paling diminati untuk investasi properti dan pariwisata.
Jalan-jalan beton baru dibuka, vila-vila berdiri megah, dan berbagai proyek pembangunan terlihat di hampir setiap sudut.
Harga tanah pun melambung tinggi, meninggalkan mereka yang pernah menganggap tanah itu tak bernilai.
Putu, seorang pria asal Gianyar yang kini berusia lebih dari 60 tahun, masih mengingat tawaran rekannya pada awal 1980-an.
“Dulu saya ditawari tanah di selatan. Katanya, ‘ambil saja kalau mau, olah saja.’ Tapi saya pikir, tempatnya tandus, susah air, dan jauh dari mana-mana. Jadi saya tolak,” kenangnya sambil tersenyum getir.
Kini, Putu hanya bisa menyaksikan dengan kagum ketika kawasan itu berkembang pesat, menjadi lokasi premium yang diincar investor dari dalam dan luar negeri.
Baca juga:
🔗 Kemacetan Parah di Jalan Menuju Ungasan, Bali Selatan: Proyek Pelebaran Jalan Jadi Pemicu
Berbeda nasib dialami oleh Ayu, seorang perempuan muda yang membangun kariernya di kawasan selatan Bali.
Ia berencana membeli tanah untuk membangun rumah keluarga. Namun, saat mulai mencari lahan di sekitar Ungasan dan sekitarnya, realitas harga yang tinggi membuatnya mundur perlahan.
“Dulu saya kira masih bisa dapat harga masuk akal di daerah yang belum terlalu ramai. Tapi sekarang bahkan lahan sempit pun sudah mahal. Sulit sekali cari tempat tinggal di sini,” ujarnya.
Lonjakan harga tanah di selatan Bali tak lepas dari pesatnya perkembangan sektor pariwisata dan properti.
Kedekatannya dengan pantai-pantai terkenal seperti Pantai Melasti, Pandawa, Green Bowl, dan Dreamland membuat kawasan ini menjadi magnet wisatawan dan investor.
Tidak hanya villa dan hotel, kini juga mulai bermunculan restoran internasional, beach club, hingga apartemen mewah.
Baca juga:
🔗 Pura Luhur Uluwatu: Perpaduan Keagungan Spiritual dan Keindahan Alam di Ujung Tebing Bali
Selama pandemi COVID-19, kawasan selatan Bali sempat kembali tenang. Banyak proyek berhenti, dan alam seolah mengambil napas panjang.
Hutan-hutan kecil tumbuh liar, satwa-satwa lokal bermunculan, dan ketenangan sempat terasa kembali.
Namun, sejak Bali kembali dibuka untuk wisatawan, geliat pembangunan meningkat drastis. Hutan-hutan kecil di babat, jalan-jalan baru dibuka, dan suara mesin kembali menggema.
Hal ini memunculkan kekhawatiran dari sebagian masyarakat dan pengamat lingkungan.
Mereka melihat pembangunan yang tidak terkendali berpotensi merusak daya tarik utama Bali, keseimbangan antara manusia, alam, dan budaya.
Jika tidak dikelola dengan bijak, bisa jadi yang tersisa hanyalah beton dan keramaian, sementara masyarakat lokal terpinggirkan dari tanahnya sendiri.
Kondisi ini menimbulkan dilema. Di satu sisi, pembangunan membawa harapan, peluang kerja, peningkatan ekonomi, dan fasilitas modern.
Namun di sisi lain, tanah-tanah adat dijual, akses air bersih semakin menantang, dan harga tanah melonjak jauh dari daya beli masyarakat lokal.
Kini muncul pertanyaan besar, siapa yang akan tinggal di Bali masa depan?
Apakah masyarakat lokal masih akan memiliki ruang untuk hidup layak di tanahnya sendiri?
Ataukah mereka hanya menjadi penonton dari pinggir, melihat pulau kelahiran mereka berubah tanpa kuasa?
Perubahan ini tak bisa dihindari, tapi masih bisa diarahkan. Perencanaan tata ruang yang bijak, perlindungan terhadap lahan produktif dan budaya lokal.
Serta pemberdayaan masyarakat Bali harus menjadi prioritas. Jangan sampai pembangunan hari ini menjadi penyesalan di masa depan.