Di tengah pesatnya modernisasi dan gemerlap pariwisata, Bali tetap teguh menjaga akar budayanya.
Salah satu simbol keteguhan itu adalah pecalang, petugas keamanan tradisional yang berasal dari desa adat dan menjadi garda terdepan dalam menjaga harmoni Pulau Dewata.
Pecalang adalah petugas keamanan adat di Bali yang berperan penting dalam menjaga ketertiban masyarakat, khususnya saat pelaksanaan upacara keagamaan dan kegiatan adat.
Kata pecalang berasal dari bahasa Bali “calang” yang berarti “awas” atau “waspada”. Meskipun bukan bagian dari kepolisian negara, pecalang diakui secara sosial dan adat sebagai otoritas sah dalam menjaga keamanan di wilayah adat mereka.
Baca juga:
🔗 Pecalang: Bukan Penghalang, Melainkan Penjaga Harmoni
Pecalang biasanya bertugas pada momen-momen sakral seperti Ngaben, Melasti, Odalan, dan terutama Hari Raya Nyepi, di mana mereka menjadi satu-satunya pihak yang diperbolehkan berpatroli memastikan suasana hening total terjaga selama 24 jam.
Tugas mereka meliputi:
Pecalang mudah dikenali dari seragam khas mereka: kemeja kotak-kotak hitam putih (kain poleng), udeng (ikat kepala), dan sarung tradisional.
Kain poleng melambangkan filosofi keseimbangan antara kebaikan dan keburukan, yang menjadi inti dari kepercayaan Hindu Bali.
Mereka biasanya adalah warga asli dari desa adat setempat, dan menjalankan tugasnya secara sukarela sebagai bentuk pengabdian atau yadnya pengorbanan suci untuk masyarakat dan alam.
Gubernur Bali, I Wayan Koster, baru-baru ini menegaskan pentingnya kekuatan adat dalam menjaga ketertiban masyarakat. Ia menolak keras keberadaan organisasi kemasyarakatan (ormas) yang bersifat premanisme atau membawa agenda tersembunyi.
Menurutnya, Bali tidak membutuhkan ormas semacam itu karena telah memiliki sistem keamanan berbasis adat yang kuat, seperti Pecalang dan Sipandu Beradat, sebuah sistem terpadu pengamanan desa adat.
“Siapa pun yang menyalahgunakan nama organisasi untuk meresahkan masyarakat akan berhadapan dengan adat dan negara. Jangan anggap enteng kekuatan budaya Bali,” tegas Koster.
Bali tidak hanya indah karena pantainya atau alamnya, tetapi karena falsafah Tri Hita Karana harmoni antara manusia dengan Tuhan, sesama, dan alam.
Pecalang adalah bagian dari ekosistem ini, sebagaimana wisatawan, umat Hindu (pemedek), dan siapa pun yang datang dengan niat menghormati dharma (kewajiban suci).
Baca juga:
🔗 Toleransi Bali: Keharmonisan Budaya dan Spiritualitas
Pecalang bukan hanya penjaga prosesi adat, tapi juga penjaga nilai, budaya, dan ketertiban masyarakat Bali. Mereka adalah cerminan dari kekuatan komunitas, gotong-royong, dan spiritualitas yang mendalam.
Di era globalisasi ini, kehadiran pecalang membuktikan bahwa modernisasi tidak perlu menyingkirkan kearifan lokal melainkan bisa berjalan beriringan demi menciptakan kehidupan yang harmonis di Pulau Dewata.