Gubernur NTT, Emanuel Melkiades Laka Lena, menyampaikan keprihatinan mendalam atas insiden pemalakan yang dialami pasangan YouTuber Jajago Keliling Indonesia, John dan Riana, di Kampung Adat Ratenggaro, Sumba Barat Daya (SBD).
Kejadian yang melibatkan permintaan uang secara paksa untuk “biaya parkir”, “uang rokok”, hingga kenaikan tarif sepihak untuk jasa foto dan sewa kuda ini dinilai merusak citra pariwisata NTT, yang selama ini dibangun di atas nilai keramahan dan budaya luhur.
Bupati SBD, Ratu Ngadu Bonu Wulla, telah menyampaikan permintaan maaf secara terbuka dan berjanji akan mengevaluasi pengelolaan destinasi wisata.
Termasuk memperkuat koordinasi dengan tokoh masyarakat serta aparat keamanan demi mencegah terulangnya kasus serupa.
Namun, respons ini menuai kritik dari pengamat pariwisata seperti Elim R. A. Lau, yang menyoroti lemahnya peran Pokdarwis (Kelompok Sadar Wisata) dan pemerintah desa sebagai akar persoalan.
Di balik viralnya insiden ini, terdapat perbedaan persepsi antara wisatawan dan warga lokal.
Menurut Gabriel Kalumbang, seorang Sumba driver, pasangan Jajago dinilai tidak memahami aturan tak tertulis di Ratenggaro, seperti tarif parkir Rp50.000 dan biaya penggunaan drone Rp75.000 yang telah berlaku selama bertahun-tahun.
Sementara itu, John dan Riana mengeluhkan perubahan tarif sewa kuda dari Rp50.000 menjadi Rp75.000, serta jasa foto yang naik dari Rp10.000 ke Rp25.000 tanpa adanya kesepakatan ulang.
Ketegangan ini mencerminkan kesenjangan komunikasi antara masyarakat adat yang memandang pungutan sebagai bagian dari ekonomi lokal, dengan wisatawan yang menuntut transparansi dan kejelasan biaya.
Seperti dicatat oleh Moonstar dalam refleksinya, pendekatan personal dan pemahaman terhadap kearifan lokal seperti berkoordinasi dengan tokoh adat atau agama setempat seringkali menjadi solusi efektif untuk menghindari konflik.
Baca juga:
🔗 Pantai di Aceh dan Aturan yang Mengajarkan Arti Menghargai Kearifan Lokal
Ratenggaro merupakan contoh klasik dari destinasi pariwisata berbasis komunitas, di mana pendapatan langsung dinikmati oleh warga.
Namun tanpa regulasi yang jelas, praktik pungutan liar oleh oknum sangat mungkin terjadi.
Gubernur NTT menekankan pentingnya “tata kelola yang transparan” melalui musyawarah warga dan penetapan tarif resmi untuk parkir, tiket masuk, dan jasa lainnya.
Kementerian Pariwisata (Kemenparekraf) pun berencana memberikan pendampingan peningkatan kapasitas SDM lokal.
Termasuk pelatihan terkait etika pelayanan wisata serta pemahaman akan manfaat ekonomi berkelanjutan.
Langkah ini sejalan dengan rekomendasi pengamat pariwisata agar pemerintah daerah menerbitkan peraturan yang mengikat terkait pungutan, sekaligus melibatkan masyarakat secara aktif dalam ekosistem wisata.
Insiden di Ratenggaro menjadi pengingat pentingnya pepatah “di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung”.
Pengalaman Moonstar selama menjelajahi Sumba pada 2015–2018 menunjukkan bahwa pendekatan budaya seperti meminta izin kepada tokoh adat dapat membuka ruang kepercayaan dan keramahan warga.
Namun, di era digital seperti sekarang, cerita negatif mudah tersebar tanpa konteks yang utuh. John dan Riana sendiri menegaskan bahwa mayoritas warga NTT sangat ramah, dan insiden yang mereka alami hanya melibatkan segelintir oknum.
Baca juga:
🔗 Hati-Hati, Ada Upacara Adat: Menyelami Keseharian Bali yang Sarat Makna
Untuk memulihkan citra Ratenggaro dan destinasi serupa, diperlukan langkah konkret, antara lain:
Sebagai penutup, kisah Ratenggaro mencerminkan tantangan besar dalam dunia pariwisata Indonesia bagaimana menyeimbangkan modernisasi dengan tradisi, serta menyelaraskan harapan wisatawan dengan hak masyarakat lokal.
Solusinya tidak hanya terletak pada penertiban, tetapi juga melalui dialog berkelanjutan dan pemahaman dua arah yang saling menghormati.