Di tubuh Polri, jabatan sering kali menjadi tolok ukur kesuksesan. Pencapaian karier yang menanjak, posisi strategis yang diemban, atau bintang di pundak kerap dijadikan simbol keberhasilan seorang perwira.
Namun, di balik dinamika itu, ada sosok yang menghadirkan perspektif lain. Dialah Kombes Pol Rachmat Hendrawan, seorang perwira Brimob yang memandang arti sukses tidak semata ditentukan oleh jabatan.
Rachmat meniti karier sejak perwira pertama dengan penuh konsistensi. Rekam jejaknya panjang, melintasi berbagai daerah dengan kultur dan tantangan yang berbeda:
Dari Sulawesi Tenggara, Jawa Timur, Sumatera Barat, Kalimantan, hingga Nusa Tenggara Timur, kariernya menorehkan banyak pengalaman di lapangan.
Setiap jabatan menuntut kepemimpinan, kemampuan manajerial, dan keberanian mengambil keputusan dalam situasi genting.
Baca juga:
🔗 Kombes Pol. Rachmat Hendrawan: Menjaga Marwah Bhayangkara dalam Setiap Langkah
Namun, meski perjalanan kariernya terbilang mapan, bagi Rachmat, jabatan hanyalah salah satu bagian dari hidup yang lebih besar.
Dalam perbincangan santai, Rachmat tidak terlalu ingin membicarakan pencapaian formalnya. Justru keluargalah yang menjadi topik utama.
“Kita pensiun lima tahun lagi, hehehe,” ujarnya ringan.
Bagi banyak orang, kalimat itu bisa berarti akhir dari sebuah perjalanan panjang di institusi. Tapi bagi Rachmat, itu lebih kepada fase baru yang ia sambut dengan tenang.
Ia tidak sibuk menghitung pangkat yang belum diraih, melainkan lebih bersyukur atas kemandirian anak-anaknya yang sudah menempuh jalan hidup masing-masing.
Inilah makna sukses menurutnya: bukan seberapa tinggi pangkat yang tersemat di pundak, melainkan bagaimana ia bisa menyeimbangkan amanah pekerjaan dengan peran sebagai ayah dan kepala keluarga.
Di saat banyak teman seangkatannya sudah meraih posisi jenderal, Rachmat tetap tenang dengan jalannya sendiri. Bukan karena ia tidak mampu, melainkan karena ia sudah menemukan ukuran kebahagiaan yang berbeda.
Sikap ini mencerminkan prinsip yang jarang disuarakan. Dalam kultur yang kerap menilai seseorang dari jabatan, keberanian untuk berkata “saya cukup” adalah bentuk lain dari kesuksesan.
Rachmat tidak menampik bahwa jabatan adalah amanah penting. Namun ia juga sadar, mengejar pangkat tanpa henti justru bisa membuat seseorang kehilangan dirinya sendiri. Ia lebih memilih menjaga idealisme, tetap bekerja profesional, tetapi tidak larut dalam ambisi.
Kisah Rachmat sejalan dengan kritik yang pernah disampaikan Komjen Pol Chryshnanda Dwilaksana, salah satu figur penting yang kini dipercaya memimpin Tim Reformasi Polri.
Chryshnanda menyoroti masih kuatnya budaya patrimonial dalam tubuh Polri. Menurutnya, mereka yang teguh berpegang pada prinsip sering kali justru tersisih.
“Mereka yang sedikit keras prinsip sering dianggap sulit. Akhirnya tersingkir, padahal justru mereka punya idealisme. Orang-orang seperti ini lama-lama mati rasa. Ke depan, biarkanlah yang menentukan jabatan adalah fit and proper test yang benar-benar objektif,” tegasnya.
Pernyataan itu menggambarkan realitas yang dihadapi banyak perwira. Idealismenya kadang berbenturan dengan budaya yang lebih mementingkan relasi personal, sungkem pada atasan, atau keterampilan politik.
Baca juga:
🔗 Komjen Pol Chryshnanda Dwilaksana, Ketua Tim Transformasi Reformasi Polri
Di tengah ikhtiar reformasi Polri, kisah seperti Rachmat menghadirkan wajah lain: bahwa sukses tidak selalu berarti menguasai jabatan tertinggi, melainkan tetap setia pada prinsip dan keluarga.
Apa yang ditunjukkan Rachmat adalah pesan sederhana namun kuat, pangkat bisa hilang, jabatan bisa berganti, tetapi keluarga dan prinsip adalah fondasi yang abadi.
Ketika ia berbicara tentang pensiun, bukan kekecewaan yang muncul, melainkan rasa syukur.
Ada kepuasan melihat anak-anaknya tumbuh mandiri, ada kebahagiaan menjalani karier tanpa meninggalkan nilai-nilai keluarga, dan ada ketenangan menerima perjalanan hidup sebagaimana adanya.
Di tengah hiruk pikuk reformasi, karier, dan persaingan, kisah seperti ini menjadi pengingat, keberhasilan seorang perwira Polri tidak hanya diukur dari jabatan yang diraih, tetapi juga dari kemampuan menjaga keseimbangan antara dedikasi pada negara dan cinta pada keluarga.