Pura Lempuyang: Menjaga Harmoni Antara Kesucian dan Daya Tarik Wisata

Wisatawan berpose di Gerbang Surga dengan latar Gunung Agung yang megah di Bali.
Seorang wisatawan berdiri di Gerbang Surga, mengabadikan momen dengan latar megah Gunung Agung. (Foto: Moonstar)

Di balik kemegahan “gerbang surga” yang menghiasi jutaan unggahan media sosial, Pura Lempuyang menyimpan makna yang jauh lebih dalam daripada sekadar latar belakang foto nan spektakuler.

Berdiri tegak di lereng timur Gunung Lempuyang, Karangasem, Bali, pura ini merupakan salah satu tempat suci tertua dan paling dihormati di Pulau Dewata.

Statusnya sebagai bagian dari Sad Kahyangan Jagat enam pura utama penyangga spiritual Bali mengukuhkan posisinya yang sakral.


Namun, beberapa tahun terakhir menghadirkan tantangan besar bagi Pura Lempuyang menemukan dan mempertahankan keseimbangan halus antara perannya sebagai pusat ibadah umat Hindu dan statusnya sebagai destinasi wisata global yang sangat populer.


Potret wisatawan yang berdiri anggun di antara gerbang pura dengan latar Gunung Agung yang perkasa telah memikat ribuan pengunjung dari seluruh penjuru dunia.

Dua Wajah: Sakral dan Populer

Bagi umat Hindu Bali, Pura Lempuyang adalah tujuan utama untuk “nge tirta” melakukan perjalanan spiritual yang mendalam.

Pendakian menuju Pura Lempuyang Luhur di puncak bukit bukan sekadar aktivitas fisik, melainkan sebuah bentuk tapa brata.

Ini adalah proses penyucian diri yang membutuhkan niat tulus, ketekunan, dan penghormatan mendalam terhadap kesucian tempat tersebut.

Sebaliknya, tak sedikit wisatawan yang datang dengan motivasi utama mengabadikan momen estetik, terkadang tanpa pemahaman atau penghargaan yang cukup terhadap nilai-nilai spiritual yang dijunjung tinggi.

Antrean panjang demi berfoto di spot ikonik seringkali mengganggu kekhusyukan umat yang sedang bersembahyang.

Kompleksitas situasi ini diperparah oleh maraknya praktik komersial di sekitar pura, seperti penyewaan kain, jasa ojek pendakian, hingga layanan foto menggunakan cermin, yang semakin mengaburkan batas antara kesakralan dan industri pariwisata.

Baca juga:
🔗 Hati-Hati, Ada Upacara Adat: Menyelami Keseharian Bali yang Sarat Makna

Gerbang Surga di Pura Lempuyang dengan latar Gunung Agung, spot favorit wisatawan untuk berfoto.
Gerbang Surga ini menjadi salah satu daya tarik utama bagi wisatawan yang berkunjung ke Pura Lempuyang, sebagai spot favorit untuk berfoto dengan latar Gunung Agung. (Foto: Moonstar)

Upaya Merajut Harmoni

Pengelola pura, bersama masyarakat adat setempat, terus berupaya keras merawat harmoni antara dua kepentingan yang berbeda ini. Beberapa langkah strategis telah diimplementasikan:

  1. Pemisahan Jalur: Jalur khusus untuk wisatawan dan jalur terpisah untuk umat yang beribadah dibuat agar prosesi keagamaan dapat berlangsung dengan tenang dan tanpa gangguan.

  2. Aturan Berbusana: Semua pengunjung, tanpa terkecuali wisatawan, diwajibkan mengenakan pakaian adat Bali (kain dan selendang) sebagai bentuk penghormatan dasar terhadap kesucian pura.

  3. Edukasi Spiritual: Peningkatan pemahaman dilakukan melalui pemasangan papan informasi multibahasa dan pengarahan langsung oleh pemangku pura atau petugas, yang menjelaskan tata krama dan makna spiritual tempat suci.

  4. Pembatasan Aktivitas: Waktu dan durasi berfoto di area utama, terutama gerbang (“candi bentar”), dibatasi secara ketat, terutama saat berlangsungnya upacara keagamaan besar atau hari-hari suci tertentu.

Kembali pada Hakikat

Pura Lempuyang tidak menutup pintu bagi wisatawan. Sebaliknya, ia mengajak setiap tamu yang datang untuk menghormati nilai-nilai luhur yang menjadi pondasinya.

Setiap langkah di kompleks pura ini seharusnya bernuansa perjalanan batin, bukan sekadar langkah menuju konten media sosial semata.

Jika kita hadir dengan hati yang terbuka dan penuh rasa hormat, maka kunjungan ke Pura Lempuyang akan menghadirkan pengalaman spiritual yang autentik dan mendalam.

Sebagai pelancong, kita diajak bukan hanya untuk menyaksikan keindahan visual, tetapi juga merasakan getarannya bahwa di balik kemegahan gerbang itu, tersimpan kekuatan doa, warisan tradisi, dan keharmonisan yang telah dijaga dengan penuh dedikasi selama berabad-abad.


Pada akhirnya, sebagai bagian dari kemanusiaan, kita semua memikul tanggung jawab bersama untuk menjaga kesucian tempat-tempat yang menjadi jantung spiritualitas dan budaya suatu peradaban.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *