Ratusan Siswa SMP di Buleleng Belum Lancar Membaca, Orang Tua Jadi Kunci Perubahan

Ayu, anak 6 tahun, membaca buku dengan penuh semangat.
Ayu yang kini lancar membaca tampak asyik membuka sebuah buku, menunjukkan hasil dari pendekatan belajar sambil bermain yang mendukung tumbuh kembangnya

Bali, Isu mengejutkan mencuat di tengah masyarakat Bali. Ratusan siswa tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Kabupaten Buleleng diketahui belum mampu membaca dengan lancar, bahkan sebagian tidak bisa membaca sama sekali. Data dari Dinas Pendidikan, Kepemudaan, dan Olahraga (Disdikpora) Kabupaten Buleleng mencatat sebanyak 363 siswa mengalami kesulitan membaca, terdiri dari 155 siswa masuk kategori Tidak Bisa Membaca (TBM) dan 208 siswa dalam kategori Tidak Lancar Membaca (TLM).

 

Sekretaris Disdikpora Buleleng, Ida Bagus Gde Surya Bharata, menyebutkan bahwa siswa-siswa ini tersebar di 60 sekolah negeri dan swasta, dengan rincian 283 siswa laki-laki dan 73 siswa perempuan. “Dari total 34.062 siswa SMP di Buleleng, persentasenya memang hanya sekitar 0,011 persen, namun tetap menjadi perhatian serius kami,” ujarnya, Rabu (16/3).

 

Bharata menambahkan, penyebab utama rendahnya kemampuan membaca ini berasal dari berbagai faktor, di antaranya kurangnya motivasi belajar (45%), disleksia (19%), kurang dukungan keluarga (21%), disabilitas (10%), dan pembelajaran yang tidak tuntas (5%).

 

Wakil Gubernur Bali, I Nyoman Giri Prasta, dalam tanggapannya menyatakan bahwa kondisi ini tak lepas dari tanggung jawab pendidik dan juga peran orang tua yang kurang maksimal dalam mendampingi anak. “Apapun yang terjadi, siswa harus bisa baca tulis sesuai kemampuan mereka. Ke depan, hal ini tidak boleh lagi terjadi. Generasi muda adalah penerus bangsa, dan kita wajib melakukan evaluasi serta pendampingan,” tegasnya.

 

Di sisi lain, kisah inspiratif datang dari seorang orang tua di Pulau Bali yang berhasil membimbing anaknya belajar membaca sejak usia dini. Saat ditemui di kawasan Mantra Bali, Hendra menceritakan bahwa anaknya, Ayu, kini berusia 6 tahun dan sudah lancar membaca. “Sejak hampir usia 5 tahun, Ayu sudah suka huruf dan angka. Kami membiasakan belajar sambil bermain. Awalnya dengan mengeja, sekarang dia bisa membaca tanpa perlu mengeja lagi,” ungkapannya.

 

Hendra menekankan bahwa pendampingan orang tua sangat berperan dalam perkembangan kemampuan anak. “Sekarang ini, kita sebagai orang tua harus menjadi mentor utama bagi anak, bukan menyerahkan sepenuhnya pada sekolah,” tambahnya.

 

Kisah Ayu menjadi bukti bahwa perhatian dan keterlibatan keluarga sangat menentukan keberhasilan pendidikan anak, terutama dalam kemampuan dasar seperti membaca.


Pemerintah daerah pun menyatakan komitmennya untuk memberikan pembinaan khusus terhadap siswa-siswa yang masih mengalami kesulitan membaca agar kedepannya mereka dapat mengikuti pembelajaran dengan lebih baik.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *