Suasana Desa Selepas Galungan: Penjor Tetap Berdiri Menjaga Kehidupan Masyarakat

Wisatawan melintas dengan motor sambil membawa papan selancar, melewati deretan penjor yang menghiasi jalan.
Wisatawan melintas dengan motor sambil membawa papan selancar, melewati deretan penjor yang masih tegak menghiasi jalan (Foto: Amatjaya)

Hari Raya Galungan telah berlalu, namun kehangatan dan ketenangan masih menyelimuti setiap sudut desa Bali.

Walau suara kidung di pura telah mereda dan para perantau kembali ke tempat tinggal masing-masing, atmosfer sakral Galungan tidak hilang begitu saja.

Penjor, simbol kemenangan dharma atas adharma, tetap berdiri anggun di tepi jalan, berswayu pelan diterpa angin sore.

Keberadaannya seperti penanda bahwa rasa syukur dan keseimbangan hidup masih dijaga oleh masyarakat hingga Hari Raya Kuningan mendatang.

Setelah Manis Galungan, aktivitas di desa perlahan kembali pada ritme semula. Perlengkapan upacara mulai dibereskan: banten yang masih bisa dimanfaatkan disortir, buah-buahan yang masih segar dibagi atau dikonsumsi, dan jajanan tradisional dibagikan kepada keluarga.

Meski begitu, kesibukan belum benar-benar berakhir. Dalam jeda menuju Hari Raya Kuningan, beberapa warga sudah mulai membuat banten sederhana, menyiapkan kelengkapan kecil, atau sekadar merapikan rumah dan pekarangan agar tetap layak menyambut hari raya berikutnya.

Suasana desa terasa lebih sunyi dibanding hari sebelumnya, namun tetap hidup oleh aktivitas ringan yang menjadi bagian dari keseharian setelah perayaan besar.

Baca juga:
🔗 Tradisi Manis Galungan: Momen Silaturahmi yang Menghangatkan di Bali

Kembali Bekerja, Kembali Beraktivitas

Di Denpasar, aktivitas masyarakat juga mulai normal. Ngurah Wiwana, salah satu pegawai rumah sakit pemerintah, mengatakan bahwa hari ini ia sudah kembali bekerja seperti biasa.

Ketika ditanya apakah masih ada libur, ia tersenyum dan menjawab, “Sudah kerja. Liburnya kemarin waktu Galungan.

”Ngurah bercerita, setelah dua hari penuh berkegiatan, mulai sembahyang di rumah, mengunjungi keluarga di Tampaksiring, hingga meluangkan waktu membawa anak-anak dan orang tuanya mandi di pantai, ia merasa bersyukur bisa menyeimbangkan semuanya.

Baginya, menikmati momen kebersamaan setelah sembahyang adalah cara sederhana untuk merawat ikatan keluarga dan mengembalikan energi sebelum kembali bekerja.

Selepas Galungan, desa-desa di Bali tampak memasuki fase tenang yang khas. Para petani sudah kembali ke ladang, para pedagang sibuk membuka warung mereka, dan para ibu rumah tangga mulai menata kembali dapur serta halaman rumah.

Namun pemandangan penjor yang masih berdiri di sepanjang jalan menjadi pengingat bahwa masyarakat masih berada dalam suasana suci dan penuh syukur.

Anak-anak yang sebelumnya libur kini kembali bermain di halaman, bersepeda di antara deretan penjor, atau membantu orang tua merapikan sisa-sisa upacara.

Sementara para orang tua tetap menjalankan aktivitas dengan langkah yang lebih pelan, masih dibalut rasa damai pascaperayaan.

Baca juga:
🔗 Penjor: Simbol Syukur dan Keseimbangan Alam

Menjaga Keseimbangan Hidup

Kisah Ngurah dan banyak warga lainnya menggambarkan bagaimana masyarakat Bali selalu berusaha menjaga keseimbangan antara kewajiban adat, pekerjaan, dan kehidupan keluarga.

Di tengah modernisasi, mereka tetap menjalankan tradisi sebagai bagian dari identitas yang tidak tergantikan.

Meski tuntutan pekerjaan sering membuat waktu terasa terbatas, masyarakat Bali tetap meluangkan ruang untuk sembahyang, berkumpul, dan berbagi.

Sikap inilah yang membuat mereka tetap harmonis dan ikhlas menjalani kehidupan sehari-hari, tanpa kehilangan akar spiritual yang diwariskan turun-temurun.

Suasana Bali selepas Galungan selalu memiliki daya tarik tersendiri: damai, hangat, dan penuh makna.

Penjor yang masih berdiri, wajah-wajah yang kembali bekerja dengan senyum, serta kesibukan ringan menjelang Kuningan menjadi bukti bahwa kehidupan masyarakat Bali selalu bergerak dalam irama yang penuh keseimbangan.

Dan di setiap langkah, ada rasa syukur yang tetap terjaga, sebuah warisan budaya yang membuat Bali selalu hidup, sekalipun hari raya telah berlalu.

Penutup

Selepas hiruk-pikuk perayaan Galungan, masyarakat Bali kembali meniti keseharian dengan tenang tanpa meninggalkan nilai-nilai yang diwariskan leluhur.

Penjor yang masih berdiri hingga Kuningan menjadi simbol kesinambungan antara tradisi dan kehidupan modern.

Di tengah kesibukan bekerja, mengurus keluarga, dan menjalankan tanggung jawab lain, masyarakat Bali tetap menjaga ruang bagi spiritualitas, kebersamaan, dan rasa syukur.

Inilah harmoni sederhana yang membuat Bali selalu memiliki denyut kehidupan yang khas, tenang, tulus, dan penuh makna.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *