Tajen Bali: Antara Budaya dan Konflik

Pertarungan dua ayam dalam arena tajen, tradisi adat khas Bali.
Pertarungan antara dua ayam berlangsung di arena tajen, sebuah tradisi khas Bali. (Foto: Moonstar)

Viral di media sosial sebuah video yang memperlihatkan kericuhan di arena sabung ayam atau tajen di Banjar Tabu, Desa Songan, Kecamatan Kintamani, Bangli, pada Sabtu (14/6/2025).

Dalam video yang diunggah akun Facebook Bali Jaya Ceritaku Ceritamu, terlihat perkelahian yang melibatkan sejumlah warga dan menyebabkan satu orang meninggal dunia.

Keterangan dalam video tersebut berbunyi, “Ada-ada saja. Mogi Amor Ring Acintya (Semoga beristirahat dalam kedamaian). Mogi tidak ada kejadian yang sama lagi.”


Peristiwa ini kembali membuka ruang diskusi panjang tentang posisi tajen dalam kehidupan masyarakat Bali.


Antara warisan budaya luhur dan praktik yang telah melenceng dari akar tradisinya, tajen kini berada di persimpangan jalan.

Antara Sakral dan Profan

Tajen atau sabung ayam merupakan salah satu tradisi kuno yang mengakar dalam budaya Bali. Ia bukan sekadar hiburan atau adu kekuatan antar ayam jago.

Dalam konteks keagamaan Hindu Bali, tajen menjadi bagian penting dari upacara Tabuh Rah ritual menumpahkan darah sebagai simbol penyucian dan penolak bala.

Dalam konteks inilah tajen dianggap sah dan sakral, diselenggarakan di pura dan dipimpin oleh pemangku adat.

Namun seiring waktu, tajen mulai mengalami pergeseran. Ia tidak lagi semata-mata menjadi bagian dari ritual keagamaan, melainkan juga menjadi ajang taruhan.

Di sinilah persoalan mulai muncul: ketika nilai budaya dan spiritualitas ditabrak oleh praktik perjudian dan kekerasan.


Baca juga:
🔗 Tulak Tunggul: Jejak Spiritualitas dan Simbol Persatuan yang Tetap Hidup di Tengah Masyarakat

Budaya: Warisan Leluhur yang Dijaga

Bagi masyarakat adat Bali, tajen bukan sekadar pertarungan ayam. Ada filosofi mendalam di baliknya:

  • Tabuh Rah diyakini sebagai persembahan kepada bhuta kala energi negatif yang harus diredam agar keseimbangan alam tetap terjaga.

  • Ayam-ayam yang digunakan dipelihara secara khusus, bahkan seperti atlet, untuk memastikan mereka layak tampil dalam konteks ritual.

  • Tajen dalam upacara adalah bagian dari harmoni, sejajar dengan sesajen, gamelan, dan doa-doa dalam menjaga tatanan alam semesta.

Konflik: Tajen Bebas dan Realitas Sosial

Namun di luar konteks keagamaan, tajen bebas berkembang liar. Praktik ini cenderung dilakukan secara sembunyi-sembunyi, di luar pantauan adat dan hukum.

Warga memegang ayam yang mati usai pertarungan di arena tajen, Bali.
Seorang warga tampak memegang seekor ayam yang telah mati setelah kalah dalam pertarungan di arena tajen di Bali. (Foto: Moonstar)

Beberapa permasalahan yang terus muncul antara lain:

  • Penyalahgunaan tajen sebagai sarana perjudian, yang seringkali melibatkan uang dalam jumlah besar.

  • Kericuhan antar penonton atau peserta yang bisa berujung pada kekerasan fisik seperti yang terjadi di Kintamani.

  • Keterlibatan generasi muda, bukan karena nilai budaya, melainkan dorongan ekonomi dan hiburan instan.

  • Hutang-piutang, intimidasi, hingga aksi kriminal yang mencoreng citra tajen dan memicu keresahan masyarakat.

Baca juga:
🔗 Perkelahian Heboh di Parkiran Bandara Ngurah Rai, Turis Ikut Melerai

Dilema Pelestarian

Pemerintah daerah dan lembaga adat Bali kini menghadapi dilema besar:

  • Melarang total tajen dikhawatirkan akan menggerus warisan budaya dan menyakiti rasa keagamaan masyarakat adat.

  • Membiarkan tajen bebas justru membuka ruang praktik menyimpang yang dapat merusak moral dan tatanan sosial.

Sebagai jalan tengah, beberapa desa adat mulai memperketat regulasi tajen:

  • Tajen hanya diperbolehkan dalam konteks upacara keagamaan, dengan pengawasan ketat dari bendesa adat.

  • Taruhan uang dilarang, bahkan dikenakan sanksi adat.

  • Edukasi budaya kepada generasi muda dilakukan untuk menanamkan pemahaman bahwa tajen bukanlah hiburan liar, melainkan simbol kesucian dan keseimbangan.

Penutup: Warisan atau Beban?

Tajen Bali hari ini berdiri di persimpangan: antara menjadi simbol keagungan budaya atau menjadi sumber konflik sosial yang membahayakan.

Tragedi di Kintamani menjadi pengingat pahit bahwa ketika nilai luhur dilepaskan, budaya bisa berubah wujud menjadi kekacauan.

Tantangan terbesar kini adalah bagaimana melindungi nilai sakral dari tajen tanpa memberi ruang pada penyimpangan.

Budaya tidak pernah salah, tetapi manusialah yang bisa mengarahkan apakah ia tetap menjadi warisan, atau justru berubah menjadi beban peradaban.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *