Ogoh-ogoh biasanya muncul menjelang Hari Raya Nyepi dan dipercaya sebagai sarana untuk menetralisir diri dari sifat Bhuta Kala serta energi negatif, agar kehidupan kembali suci dan harmonis.
Salah satu peninggalan perayaan Nyepi tahun 2024 yang masih berdiri kokoh ditemukan di Pura Penataran Uluwatu, Tampaksiring, Gianyar.
Peninggalan tersebut adalah Tulak Tunggul, yang umumnya dibakar setelah rangkaian perayaan Nyepi usai. Namun, yang satu ini masih tampak terawat dan berdiri tegak.
Secara harfiah, Tulak Tunggul berarti “menolak gangguan” atau energi negatif yang mengancam keseimbangan hidup.
Ia merupakan bagian dari tradisi Aci Tulak Tunggul, yakni upacara persembahan untuk menjaga harmoni dan menolak kekuatan destruktif yang tidak kasatmata.
Tulak Tunggul biasanya dipajang selama rangkaian Nyepi, lalu dibakar sebagai simbol penyucian.
Menariknya, keberadaan Tulak Tunggul ini masih menarik perhatian masyarakat. Salah satunya adalah Ayu, warga Ungasan yang sedang pulang kampung ke Pejeng.
Ia menyempatkan diri mengajak anak-anaknya untuk melihat langsung Tulak Tunggul, berfoto bersama, serta membeli merchandise seperti gantungan kunci, kaus, dan botol minum bergambar Tulak Tunggul.
Produk-produk ini sangat diminati, bahkan ada yang rela menunggu pemesanan ulang karena ukuran kaos yang diinginkan habis terjual.
Baca juga:
🔗 Tradisi Ogoh-Ogoh: Simbol Pengusiran Roh Jahat
Fenomena ini menunjukkan bahwa Tulak Tunggul bukan sekadar simbol spiritual, melainkan juga bagian dari akulturasi budaya dan pariwisata Bali.
Ia membawa cerita dan cerita itulah yang membuatnya tetap hidup dalam ingatan masyarakat.
Tulak Tunggul menjadi simbol keteguhan, perlindungan, dan persatuan, menyimpan makna yang mendalam bagi kehidupan.
Ia digambarkan sebagai pohon magis, sering kali berupa pohon beringin, dengan kekuatan spiritual yang menjaga identitas wilayah serta menjadi cerminan pemikiran tentang persatuan
Karakter magis Tulak Tunggul merepresentasikan entitas hidup yang menghubungkan manusia dengan kebijaksanaan alam.
Kain poleng hitam-putih yang menyelimutinya mencerminkan filosofi Rwa Bhineda dualitas kehidupan seperti baik dan buruk, siang dan malam, benar dan salah. Ini adalah makna dari kata “Tulak” yang mencerminkan budaya luhur Bali.
Dalam filosofi Upeksha, kita diajak untuk berada di tengah menemukan ketenangan dan keseimbangan.
Posisi duduk Tulak Tunggul melambangkan kekokohan, sementara Ketu atau mahkota di atasnya menjadi lambang keagungan.
Baca juga:
🔗 Pohon Berbalut Kain Poleng: Simbol Sakral Bali