Dalam sebuah pernyataan yang menggugah, Sadhguru yogi dan pemikir visioner asal India menyoroti fenomena ini: keunggulan fisik laki-laki, yang dulu menjadi tulang punggung banyak sektor, kini mulai tergeser oleh deru mesin dan kecanggihan teknologi.
Di era modern, pekerjaan yang mengandalkan tenaga kasar semakin menyempit, tersingkir oleh alat-alat berat yang perkasa, sistem otomatisasi yang presisi, dan algoritma digital yang bekerja tanpa lelah. Otot manusia, dalam banyak bidang, mulai tersingkirkan.
Namun, lompatan ke masa depan ini tidak terjadi secara merata. Di banyak pelosok dunia, termasuk di nusantara kita, Indonesia, realitas yang kontras masih terbentang jelas.
Tengoklah foto yang diambil di sebuah area tambang atau perbukitan terjal dua sosok pekerja, dengan perlengkapan seadanya dan seutas tali sebagai pengaman, mencoba menaklukkan kemiringan ekstrem.
Mereka bukan sedang bertualang, melainkan bertarung melawan gravitasi yang kejam, terik matahari atau hujan yang mengguyur, dan risiko cedera bahwa maut mengintai setiap langkah semata demi menyambung hidup, untuk sesuap nasi.
Di tengah gempuran teknologi yang didengungkan di pusat-pusat kota, pekerjaan fisik yang melelahkan dan berbahaya seperti ini masih menjadi nafas dan tulang punggung bagi jutaan masyarakat kelas pekerja.
Baca juga:
🔗 Rinjani: Dalam Sunyi, Aku Menemukan Banyak Suara
Fenomena ini bagai dua sisi mata uang yang sama. Di satu sisi, kita sedang melesat menuju era baru di mana kekuatan otot digantikan oleh kecerdasan buatan dan tenaga mekanik.
Robot merakit mobil, drone memantau lahan, dan perangkat lunak mengelola logistik. Di sisi lain, kita diingatkan dengan keras bahwa transisi ini bukanlah sulapan.
Tidak semua orang bisa serta-merta meninggalkan pekerjaan fisik dan beralih ke ranah kerja yang lebih “bersih”, ber-AC, dan berbasis gawai.
Perlu waktu yang tidak sebentar, pendidikan dan pelatihan yang tepat sasaran, serta akses yang merata terhadap infrastruktur digital dan ekonomi baru, agar perpindahan ini tidak meninggalkan siapa pun dan bisa berlangsung secara adil.
Seiring menyempitnya ruang bagi pekerjaan fisik tradisional, terjadi pula transformasi mendasar dalam struktur sosial ketenagakerjaan.
Lapangan kerja yang dahulu didominasi kuat oleh laki-laki, terutama di sektor-sektor berat, kini mulai melonggar.
Ruang-ruang baru yang lahir dari transformasi digital menawarkan peluang yang lebih setara.
Dunia industri kreatif digital, pendidikan online, desain grafis dan UI/UX, bahkan peran sebagai teknisi spesialis di bidang robotika atau energi terbarukan.
Kini semakin dipenuhi oleh sosok-sosok perempuan yang bukan sekadar hadir, tetapi aktif berkontribusi, memimpin, dan bersinar dengan kompetensi mereka.
Baca juga:
🔗 Bena: Di Antara Waktu yang Diam dan Alam yang Bicara
Namun, inti transformasi ini bukan semata tentang pergantian alat dari pacul ke laptop.Ini adalah soal pergeseran paradigma yang jauh lebih mendasar.
Apakah kita, sebagai masyarakat, siap membangun ekosistem kerja yang mengukur nilai manusia bukan lagi dari besarnya otot atau kemampuan mengangkat beban.
Melainkan dari kedalaman pikirannya (kecerdasan, analisis, inovasi), kepekaan hatinya (empati, kolaborasi, kepemimpinan pelayan), daya ciptanya (kreativitas, solusi baru), dan keteguhan karakternya (integritas, kejujuran, tanggung jawab)?
Masa depan pekerjaan akan menjadi milik mereka yang lincah beradaptasi. Namun, adaptasi ini tidak cukup hanya secara teknologis menguasai perangkat lunak terbaru atau memahami prinsip AI.
Adaptasi secara kemanusiaan sama krusialnya: kemampuan untuk belajar terus-menerus, berkolaborasi lintas disiplin, berempati dengan sesama, dan memecahkan masalah kompleks yang seringkali bersifat sosial.
Mesin-mesin canggih boleh saja mengambil alih tugas-tugas fisik yang repetitif dan berat, bahkan tugas kognitif tertentu.
Namun, nilai-nilai kemanusiaan yang mendalam seperti keberanian menghadapi ketidakpastian, ketekunan dalam mengupayakan solusi.
Rasa hormat terhadap sesama pekerja, dan solidaritas seperti yang tercermin dalam perjuangan para buruh di tebing batu itu akan tetap menjadi inti yang tak tergantikan.
Nilai-nilai inilah yang kelak menjadi pondasi kokoh bagi dunia kerja yang tidak hanya efisien, tetapi juga lebih adil, bermartabat, dan manusiawi. Keunggulan fisik mungkin tersingkir, namun esensi kemanusiaan justru harus semakin ditegakkan.