Jam dinding itu menunjukkan pukul 7.37 pagi. Namun, di balik meja dagangan sederhana di sudut pasar, waktu seolah terhenti. Tak terburu, tak berpacu.
Seorang ibu duduk tenang. Tatapannya tak kosong melainkan ia sedang menghitung, bukan uang, melainkan hari. Setiap pagi ia datang, menata dagangan, membentangkan tirai kecil harapannya.
Kalender di dinding masih tertinggal pada bulan April, tapi tak seorang pun menggantinya. Seolah pasar ini memiliki dimensi waktunya sendiri: waktu yang ditentukan bukan oleh jarum jam, melainkan oleh desahan napas kesabaran dan ritme rutinitas.
Di sekelilingnya, kerupuk dalam kemasan plastik, jajanan pasar, dan bumbu-bumbu dapur tersusun rapi. Mereka bukan sekadar barang dagangan.
Mereka adalah saksi bisu ketekunan yang bertahan melintasi musim. Di antara aroma minyak goreng dan riuh rendah pasar, ada ketenangan yang tak ternilai: ketenangan merangkul hari, menunggu dengan ikhlas, dan menjalani tanpa gugup.
Ibu ini bukan sekadar pedagang. Ia adalah penjaga waktu yang menanam harapan di pagi, merawat kesabaran di terik siang, dan memetik makna saat senja menyapanya.
Kehidupannya mengungkap pelajaran yang sering terlupa dalam gegap gempita zaman: waktu bukanlah lawan, melainkan sahabat yang mengajarkan kita untuk bernapas perlahan.
Dan mungkin hanya mungkin di balik etalase sederhana itulah waktu menemukan bentuknya yang paling manusiawi: lambat, hangat, dan penuh makna yang tak terukur.