Keindahan alam Bali, terutama pantainya, seringkali ternoda oleh tumpukan sampah. Keprihatinan inilah yang pertama kali menggugah hati Wayan Aksara.
Ketertarikannya pada isu sampah berawal dari sang ayah, yang rajin memungut sampah di pantai.
Suatu hari, Wayan melihat raut wajah ayahnya yang murung. Saat ditanya, sang ayah mengungkapkan kekecewaannya.
“Saya melakukan ini, tapi orang-orang di sekitar tidak ada yang peduli. Sampah malah terus bertambah.”
Kepedulian Wayan semakin kuat berkat hobinya di dunia fotografi. Ia menyaksikan dua fenomena bertolak belakang.
Ada fotografer yang sibuk menyingkirkan sampah demi bidikan visual sempurna, tapi ada pula yang justru memfokuskan lensa pada sampah itu sendiri, mengabadikan masalah nyata.
Kontras ini memantik sebuah ide dalam benaknya membangun gerakan komunitas fokus menangani masalah sampah. Saat itu, ia sudah memiliki komunitas fotografi sebagai wadah potensial.
Mencari wadah yang tepat, Wayan kemudian menemukan salah satu komunitas besar dunia peduli sampah.
Ia memulai perjuangannya dengan menggelar aksi di Pantai Saba, Blahbatuh, Gianyar, Bali. Aksi mingguannya yang konsisten menarik perhatian dan membuka cabang (chapter) baru, bahkan di luar Bali.
Dedikasinya yang tinggi membuatnya dipercaya memimpin organisasi tersebut untuk wilayah Indonesia.
Di bawah kepemimpinannya, nama Wayan semakin dikenal melalui aksi-aksi sosialnya, dan cabang-cabang pun bermunculan di berbagai penjuru Indonesia.
Baca juga:
🔗 Kain Tenun Gringsing: Warisan Budaya Bali yang Tak Lekang Zaman
Namun, seiring berjalannya waktu, Wayan memutuskan untuk berhenti. Ia menyadari kekhasan yang perlu dipertimbangkan dalam penerapan gerakan komunitas yang akan ia bentuk.
“Budaya Bali terlihat remeh, tapi sebenarnya memiliki perbedaan mendasar. Kita sudah punya akar budaya kuat di sini, dan kita harus bisa beradaptasi,” ujarnya.
Ia menekankan konsep Ngayah, tradisi Bali tentang bekerja tanpa pamrih, bukan semata mengejar hasil langsung, tetapi percaya bahwa kebaikan akan berbalik dalam bidang kehidupan lainnya.
Ia melihat buktinya pada beberapa rekannya yang aktif di dunia usaha justru dengan ikut serta dalam aksi bersih-bersih tanpa pamrih, usaha mereka terdampak positif.
Mengusung prinsip kearifan lokal ini, Wayan memilih melanjutkan perjuangan secara mandiri. Ia mendirikan Yayasan Bumi Kita Nuswantara yang menaungi gerakan aksi Bumi Kita.
Dalam tiga tahun berjalan, Bumi Kita telah berhasil membentuk 15 cabang (chapter) yang tersebar di seluruh Indonesia.
Pengalaman dan ilmu yang didapatkannya dari organisasi sebelumnya membuatnya lebih matang, namun ia tetap teguh pada prinsipnya mengombinasikan semangat peduli lingkungan dengan kearifan dan karakteristik daerah masing-masing.
Baca juga:
🔗 Penjaga Tradisi Sejak Dini: Peran Keluarga dalam Menanamkan Budaya Bali
Di Bali, Wayan mengajak masyarakat bergerak dengan semangat Ngayah. Pendekatan ini berhasil membangun basis relawan loyal yang tulus melakukan aksi nyata demi menjaga kesucian dan keindahan Pulau Dewata.
Salah satu prinsip utama yang terus Wayan tekankan adalah penanggulangan sampah harus dimulai dari kesadaran dan penanganan di hulu (sumber).
Ia konsisten menggaungkan hal-hal kecil yang berdampak besar, seperti membiasakan diri membawa botol minum sendiri (tumbler) ke sekolah atau saat beraktivitas, guna meminimalisir sampah plastik sekali pakai.
Ia juga sangat mengapresiasi peraturan terbaru yang melarang penjualan minuman dalam kemasan botol plastik di bawah satu liter di Bali.
“Saya memikirkan masa depan Pulau Bali yang indah, yang telah memberikan kehidupan untuk kita semua,” tegasnya, menyambut baik aturan yang sejalan dengan visinya.
Baca juga:
🔗 Bali Tetap Jadi Destinasi Terbaik: Keindahan yang Tak Pernah Padam
Wayan tak hanya berwacana, ia mewujudkan prinsipnya dalam tindakan nyata sehari-hari dengan selalu membawa tumbler ke manapun ia pergi.
Baginya, perubahan besar dimulai dari aksi kecil yang dilakukan secara konsisten, bukan dengan menyudutkan pihak lain, melainkan dengan memberi contoh langsung.