Di antara kabut pagi yang menyelimuti Tampaksiring, Gianyar, tersimpan kenangan masa kecil I Gusti Ayu Putu Mariesta Widnyani seorang gadis Bali berjiwa pemberani yang sejak dini belajar arti kemandirian.
Di usia 22 tahun, perjalanan hidupnya telah mengukir mozaik perjuangan. Sejak remaja harus menghabiskan masa SMP hingga pendidikan D1 di Denpasar di rumah keluarga bibinya dari pihak ayah, sementara orang tua tercinta tetap bertahan di tanah kelahiran.
Tahun 2022 menjadi titik balik. Setelah menyelesaikan program pelatihan di hotel berbintang lima yang menyita enam bulan waktunya bekerja dari subuh hingga larut malam.
Bagai roda yang tak pernah berhenti berputar langkah hidupnya tiba-tiba dihampiri cahaya baru. Sebuah undangan dari sang Nini (bibi dari pihak ibu) yang telah lama menetap di Australia, mengantarkannya pada peluang emas: kuliah sambil bekerja di negeri kanguru.
Kepakan sayap pertama di Brisbane Airport, Agustus 2022, terasa seperti mimpi yang asing. Udara dingin bulan Juli menusuk tulang, tapi tekad di hatinya lebih membara.
Berbekal jaminan tempat tinggal dan dukungan finansial awal dari Nini, ia mulai merajut kehidupan baru. Kebiasaan hidup jauh dari keluarga sejak kecil membantunya beradaptasi dengan cepat hanya perlu tujuh hari, katanya, untuk menjinakkan kerinduan dan rasa asing.
Dua agenda utama dijalani dengan penuh disiplin: pagi hingga siang sebagai mahasiswa Food and Beverage, sore hingga malam sebagai pekerja paruh waktu di restoran India.
Di sini, setiap 15 menit kerja tambahan dihargai setara, kontras tajam dengan pengalamannya di Bali, tempat jam kerja panjang kerap dibayar dengan senyum manis tanpa kompensasi.
“Di sini, jerih payahku terasa dihargai layaknya manusia,” bisiknya suatu hari, matanya berkaca-kaca mengenang masa lalu.
Setelah tiga bulan bergantung pada Nini, perlahan ia mulai mandiri. Bangun pukul 04.00 pagi menjadi ritual sakral, menyambut fajar dengan langkah pasti, membagi waktu antara kelas teori pengolahan wine dan praktik langsung di dapur restoran.
Jurusan kuliahnya ternyata menjadi jembatan sempurna, setiap teori tentang manajemen makanan langsung diaplikasikan di tempat kerja.
Tak hanya berhasil membiayai hidup sendiri, gadis penyayang ini mulai menyisihkan sebagian penghasilan untuk Nini sebagai bentuk balas budi.
“Ini baru bisa membayar 1% kebaikan Nini,” ujarnya rendah hati.
Setiap akhir pekan, ia menyisipkan video call dengan adik-adiknya di Gianyar, memastikan kebutuhan sekolah mereka terpenuhi. Sebagai anak sulung, tanggung jawab itu dijalani bukan sebagai beban, melainkan kebanggaan.
Desember 2024 menjadi momen bersejarah, sertifikat kelulusan di tangannya bukan sekadar kertas, melainkan tiket untuk bekerja full-time. Lulus kuliah Certificate IV Cookery & Diploma of Hospitality Management.
Visinya jelas, mengumpulkan bekal finansial dan pengalaman selama lima tahun sebelum akhirnya pulang kampung.
“Aku ingin masa tua di Bali, dikelilingi kebahagiaan, kedamaian, dan orang-orang tercinta tanpa harus cemas akan apa pun,” ucapnya sambil tersenyum getir mengingat realitas tanah air yang masih sulit menjanjikan kesejahteraan.
Kini, di sela kepulangannya yang pertama setelah tiga tahun, Yuesta menyatu kembali dengan denyut nadi kampung halamannya.
Dua minggu menjelang Galungan ia habiskan dengan merajut kembali ikatan keluarga memeluk ibu yang sudah beruban, mengajari adik cara membuat canang sari, sekaligus berbagi cerita perjuangan pada tetangga.
Namun dibalik senyumannya, tersimpan keyakinan teguh: Australia masih menjadi panggung sementara untuk menari demi masa depan.
Ketika ditanya tentang kerinduan, ia menghela napas pelan:
“Setiap dengar gamelan atau cium bau dupa, rasanya ingin menangis.” Tapi air mata itu ia simpan rapat-rapat, diubah menjadi semangat saat kembali ke rutinitas di restoran Australia yang ramai.
Dari gajinya yang kini bisa mencapai 30 juta per bulan, separuh ditabung untuk mimpi membangun usaha kuliner di Bali kelak.
Kisah Yuesta bukan sekadar tentang remitansi atau gelar akademis. Ini adalah saga tentang seorang perempuan muda yang berani menjadikan kerinduan sebagai semangat.
Mengubah peluh menjadi pelangi, dan membuktikan bahwa jarak tak pernah sanggup memutuskan tali kasih pada tanah kelahiran.
Di setiap dapur restoran tempatnya bekerja, di setiap sesi kuliah yang diikutinya, ia tak hanya membawa nama Yuesta tapi juga kebanggaan Bali yang teguh mengarungi zaman.