Pecalang tidak hadir untuk menghambat umat, tetapi menjadi penjaga ritme upacara dan kunjungan ke pura agar tetap tertib, nyaman, serta selaras dengan warisan adat yang dijaga turun-temurun.
Baca juga:
🔗 Pohon Kain Poleng: Simbol Sakral di Bali
Sebagai pelindung tata kelola adat di Bali, pecalang adalah sosok pengayom yang tenang dan disegani.
Namun, baru-baru ini, kebersamaan kita tercoreng oleh insiden memilukan di Pura Agung Besakih seorang pecalang mengalami kekerasan fisik dari pemedek saat menjalankan tugas sucinya.
Pura bukan sekadar arena ritual. Ia adalah cermin spiritualitas yang mengajak manusia merendahkan ego. Ketegangan, apalagi kekerasan sekecil apa pun adalah noda yang merusak kesucian warisan leluhur.
Insiden ini menjadi cermin betapa edukasi tentang peran pecalang dan tata krama berpura perlu digiatkan baik bagi umat, wisatawan, maupun pecalang sendiri.
Pendekatan berbasis seva (pelayanan), dialog penuh tat twam asi (rasa kesatuan), serta komunikasi yang asah-asih-asuh (saling menghargai, mengasihi, dan membina) harus menjadi napas dalam setiap interaksi.
Baca juga:
🔗 Putu Ratih: Bocah Bali Penjaga Tradisi Leluhur
Keindahan Bali bukan hanya pada alamnya, tetapi pada Tri Hita Karana, harmoni manusia dengan Tuhan, sesama, dan alam.
Pecalang adalah bagian dari ekosistem ini, sebagaimana pemedek, wisatawan, dan siapa pun yang datang untuk belajar menghormati dharma (kewajiban suci) di Tanah Dewata.
Baca juga:
🔗 Desa Penglipuran dan Gaya Hidup Hijau Masyarakat Bali
Mari jadikan peristiwa ini titik tolak untuk:
Ini bukan soal mencari kesalahan, tetapi momentum untuk mulat sarira (introspeksi). Sebab, setiap pelanggaran terhadap adat adalah luka yang menggerogoti jati diri kita sendiri.
Di Pulau yang dijuluki “Seribu Pura” ini, akankah kita biarkan ego mengalahkan susila (tata krama)?
Masih pantaskah pura disebut ruang penyucian jika kita memasukinya dengan amarah, lalu keluar tanpa membawa wijaya (pencerahan batin)?
Baca juga:
🔗 Hidup dengan UMP di Bali, Bertahan dengan Kearifan Lokal
Pecalang telah membuka mata kita, merawat Bali bukan tugas pecalang semata, tapi yadnya (pengorbanan suci) yang harus ditunaikan bersama.
Sebab, di balik setiap ukiran pura, tersirat pesan leluhur nyama braya (bersaudara) dalam keberagaman, meneng (hening) dalam konflik, suwung (kosongkan diri) demi harmoni.