Pada tahun 2025, Pemerintah Provinsi Bali menetapkan Upah Minimum Provinsi (UMP) sebesar Rp 2.996.561 per bulan.
Angka ini mengalami kenaikan sebesar 6,5% dari tahun sebelumnya, selaras dengan penyesuaian inflasi dan pertumbuhan ekonomi nasional. Namun, apakah kenaikan ini benar-benar cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup di Bali yang kian mahal?
Baca juga:
π Puang Tin Dizzz: Komitmen untuk Buruh di Hari Buruh Internasional
Menurut laporan Badan Pusat Statistik (BPS) Bali tahun 2024, rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di Bali mencapai Rp 1,8 juta, sementara pengeluaran untuk keluarga kecil (2β3 orang) bisa mencapai Rp 4β5 juta.
Di wilayah urban dan destinasi wisata seperti Kuta, Canggu, atau Ubud, pengeluaran bisa jauh lebih tinggi akibat sewa tempat tinggal, harga makanan, dan transportasi yang naik seiring geliat pariwisata.
Bagi pekerja yang hanya menerima UMP, memenuhi kebutuhan dasar saja sudah menjadi tantangan.
Terlebih di kawasan wisata seperti Ubud dan Kuta, pengeluaran yang terus meningkat membuat banyak pekerja merasa kesulitan untuk menyeimbangkan antara pendapatan dan kebutuhan sehari-hari.
Baca juga:
π Pembangunan Masif di Selatan Bali Ancam Keseimbangan Ekologis
“Bagi pekerja yang hanya menerima UMP, memenuhi kebutuhan dasar saja sudah menjadi tantangan. Terlebih di kawasan wisata seperti Ubud dan Kuta,” kata Hendra, seorang pekerja asal luar daerah yang tinggal di kawasan Uluwatu, wilayah yang kini berkembang pesat dengan pembangunan villa dan restoran.
Kondisi tempat tinggal juga menjadi salah satu tantangan utama. Di Uluwatu, menurut Hendra, harga kost bervariasi: dari Rp 800 ribu per bulan untuk kamar kosong dengan kipas angin, hingga Rp 2β4 juta per bulan untuk kamar lengkap dengan AC, air panas, dan dapur.
Sementara itu, harga makan di warung lokal berkisar Rp 10.000β25.000 per porsi, namun bisa melonjak drastis jika mengikuti pola konsumsi wisatawan di kafe atau restoran internasional.
Β
Baca juga:
π Warung Wardhani: Waktu Menari di Atas Piring, Rasa yang Abadi Sejak 1980
Sebagai pendatang, Hendra menekankan pentingnya membedakan gaya hidup sebagai pekerja dan sebagai wisatawan. “Kita harus tahu batas.
Jangan tergoda nongkrong di tempat mahal setiap akhir pekan kalau penghasilan pas-pasan. Hidup di Bali itu indah, tapi bisa kejam kalau kita nggak pandai-pandai mengatur.”
Sektor pariwisata menyerap lebih dari 50% tenaga kerja di Bali, berdasarkan data Dinas Tenaga Kerja dan ESDM Provinsi Bali.
Namun, sebagian besar berada dalam kategori pekerja kontrak dan informal, yang minim perlindungan sosial dan rawan PHK saat krisis seperti saat pandemi COVID-19 melanda.
Pemerintah Bali telah menggulirkan sejumlah program pelatihan keterampilan dan akses ke Kredit Usaha Rakyat (KUR), namun masih banyak pekerja yang kesulitan mengakses program-program ini karena minim informasi atau tidak memenuhi syarat administratif.
Baca juga:
π Generasi Muda dan Tanggung Jawab Melestarikan Warisan Budaya
Hidup di Bali dengan UMP bukan hal yang mustahil, tapi menuntut perencanaan matang, kesederhanaan, dan kreativitas dalam bertahan.
Sementara Bali terus bersolek untuk menyambut wisatawan, penting untuk tidak melupakan para pekerja yang menopang wajah pariwisata itu sendiri.
Pemerintah, pengusaha, dan masyarakat perlu duduk bersama membicarakan kesejahteraan pekerja agar βBali Pulih dan Bangkitβ bukan hanya slogan, tetapi realita yang bisa dirasakan oleh semua lapisan.