Bagi AKBP Umar, seorang perwira lulusan Akademi Kepolisian angkatan 2004 yang kini menjabat Kapolres Gianyar sejak 2024, perjalanan hidupnya menuju Bali bukan sekadar kebetulan.
Ia melihatnya sebagai rangkaian tanda-tanda ilahi yang dengan jelas mengantarnya ke Pulau Dewata.
“Semua sudah ada tanda dari awal dalam perjalanan karier dan kehidupan saya hingga menjadi Kapolres Gianyar,” ujarnya penuh keyakinan.
Kisahnya bermula beberapa tahun silam. Saat itu, ia bersama keluarga berlibur ke Bali dari Semarang untuk menghadiri pernikahan teman.
Mereka menyetir sendiri secara bergantian. “Perjalanan darat ke Bali adalah yang pertama kali bagi keluarga kami. Biasanya paling jauh hanya sampai Yogyakarta, Magelang, atau Surabaya,” kenangnya.
Sesampainya di Pantai Watu Dodol, Banyuwangi, usai sholat Ashar sekitar pukul lima sore, pemandangan Pulau Bali di seberang terhampar jelas.
Di momen inilah, sang anak secara spontan berucap, “Bagaimana kalau Ayah tugas di Bali saja?” Kalimat polos itu seperti benih yang tertanam tanpa disadari.
Tanda berikutnya muncul saat ia menjalani pendidikan Sespim (Sekolah Staf dan Pimpinan) di Lembang.
Pada hari pengumuman penempatan tepatnya hari Senin pukul 11 ia bangun pagi dan memakai kaos seperti biasa.
Tanpa disengaja, ia mengambil kaos bertuliskan “Brotherhood Bali” yang pernah diberikan seorang seniornya yang bertugas di Bali.
Baru beberapa hari kemudian, saat melihat kembali foto-foto momen penerimaan telegram penugasan, ia tersadar sedang memakai kaos itu saat menerima surat keputusan yang mengantarnya ke Bali.
“Waktu itu, saya belum memaknainya. Namun setelah bertugas di sini dan melihat foto itu, saya yakin semuanya telah dirangkai indah oleh Sang Maha Pengatur,” ungkapannya.
Ia mengaku tak pernah membayangkan akan menjadi Kapolres Gianyar, namun meyakini bahwa rencana Allah pasti yang terbaik untuk dijalani.
“Terkadang kita diberi bukan apa yang kita inginkan, tapi apa yang kita butuhkan,” ucapnya bijak. Baginya, kenyamanan dalam menjalani peran sebagai Kapolres Gianyar datang dari penerimaan ini.
“Ketika dibutuhkan berdiri, kita akan diajarkan cara berdiri. Ketika harus berlari, kita akan diberi semangat untuk berlari.
Saat meminta kekuatan, justru datang cobaan karena melalui cobaan itulah kita menjadi kuat,” paparnya.
Ia melanjutkan, “Kebahagiaan yang kita damba justru sering lahir dari kesedihan yang kita syukuri. Kebahagiaan sejati adalah bersyukur dalam kondisi apa pun.”
Kini, setahun memimpin Polres Gianyar, kematangan kepemimpinannya semakin terasa. Ia tidak hanya mengandalkan pendekatan strategis sebagai perwira, tetapi juga menanamkan keseimbangan spiritual dalam setiap keputusan.
“Menjadi pemimpin bukan sekadar soal kekuasaan, tapi tentang membawa kedamaian baik dalam organisasi maupun kehidupan pribadi,” tegasnya.
Baca juga:
🔗 AKBP Umar dan Strategi Kultural Menjaga Kamtibmas Bali
Pegangan hidupnya tertuang dalam satu kalimat sederhana yang penuh keyakinan:
“Ya Allah, kami yakin bahwa apa yang Engkau berikan adalah yang terbaik, karena Engkaulah Yang Maha Mengetahui dan Maha Benar. Engkau, ya Allah”.
Kalimat inilah yang menjadi fondasi perannya sebagai kepala keluarga, perwira polisi, dan hamba Tuhan.
Di Bali, ia menemukan ketenangan jiwa, kedekatan dengan alam, dan kehangatan hidup bersama keluarga.
Pulau ini pun bukan lagi sekadar tempat bertugas, melainkan bagian dari takdir terbaik yang disyukurinya sepenuh hati.