Di sebuah sore hangat di tepi pantai Bali, dua anak laki-laki berdiri di atas pasir basah, menggenggam benang layangan yang melayang tinggi di langit. Di belakang mereka, gemerlap lampu restoran mulai menyala, memantulkan cahaya ke ombak yang berkejaran.
Tawa wisatawan memenuhi udara, namun di tengah hiruk-pikuk itu, pemandangan anak-anak bermain tampak seperti fragmen masa lalu yang perlahan memudar.
Pantai yang dahulu menjadi ruang terbuka dan gratis bagi siapa pun untuk berlarian, bermain bola, atau membangun istana pasir kini berubah rupa.
Deretan kursi santai dan meja restoran merayap hingga ke bibir pantai, menyisakan sedikit ruang bagi anak-anak lokal untuk sekadar bernafas dan bermain.
Mereka terpaksa memindahkan aktivitas ke sudut-sudut sempit, berbagi tempat dengan pengunjung dan deru mesin genset yang tak henti berdengung.
Layang-layang yang mereka terbangkan seolah menjadi simbol langit masih luas untuk bermain, tapi tanah tempat berpijak makin menyempit.
Pariwisata memang telah menjadi urat nadi perekonomian di banyak wilayah Bali. Kehadirannya membawa peluang kerja, peningkatan pendapatan daerah, serta geliat pembangunan infrastruktur.
Namun dibalik narasi keberhasilan itu, terselip kisah yang sering terabaikan yaitu menyusutnya ruang hidup warga lokal, terutama anak-anak.
Mereka yang tumbuh dan tinggal di kawasan wisata justru semakin sulit menemukan tempat untuk menjalani masa kecil secara alami dan merdeka.
Baca juga:
🔗 Masa Emas Anak (0–6 Tahun): Membangun Fondasi Holistik untuk Masa Depan
Padahal, bermain bukanlah aktivitas remeh. Ia adalah kebutuhan dasar yang dijamin oleh Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.
Bermain adalah cara anak mengenal dunia, membangun imajinasi, menumbuhkan empati, serta memperkuat fisik dan emosi. Ketika ruang bermain direduksi, yang hilang bukan sekadar aktivitas sore hari, tapi juga potensi masa depan yang sehat dan seimbang.
Foto dua anak dengan layangan di tengah hiruk-pikuk kawasan wisata adalah potret kecil dari ketimpangan yang lebih besar.
Mereka hadir di ruang yang sama, namun dengan hak dan akses yang berbeda. Komersialisasi ruang publik perlahan menjadikan anak-anak sebagai “tamu” di tanah mereka sendiri.
Baca juga:
🔗 Pecalang: Penjaga Tradisi dan Keamanan Bali
Pemerintah, pelaku industri pariwisata, dan masyarakat memiliki tanggung jawab bersama untuk memastikan bahwa pembangunan berlangsung dengan prinsip keberlanjutan dan inklusivitas.
Ini bukan tentang melarang pembangunan, melainkan merancang ruang yang adil: mengalokasikan sebagian area wisata untuk taman komunitas, zona bermain anak, atau sekadar jalur hijau yang bisa dinikmati siapapun tanpa tiket masuk.
Baca juga:
🔗 Pantai Samuh Nusa Dua: Surga Keluarga Ramah Anak di Tengah Kemewahan Bali
Misalnya, dengan menetapkan minimal 20% area pantai sebagai ruang terbuka publik yang bebas dari komersialisasi, atau membangun taman bermain anak di setiap satu kilometer kawasan wisata.
Investasi pada ruang ramah anak bukanlah beban, melainkan bentuk keberpihakan kepada generasi penerus yang kelak akan mengelola masa depan daerah itu sendiri.
Anak-anak tidak membutuhkan wahana mewah untuk bahagia. Seutas benang, hembusan angin laut, dan sebidang tanah lapang sudah cukup.
Tapi mereka membutuhkan ruang yang aman, inklusif, dan bebas dari desakan beton. Di tengah pusaran pariwisata yang terus berkembang, menjaga sisa-sisa kebebasan bermain adalah tugas bersama.
Sebab, masa kecil yang utuh hari ini adalah fondasi bagi masyarakat yang lebih berdaya di masa depan.