Di tengah arus globalisasi yang terus bergerak cepat, Pulau Bali menjadi salah satu contoh nyata bagaimana tradisi dan modernitas bisa berjalan berdampingan.
Salah satu elemen penting yang menjadi fondasi masyarakat Bali adalah semangat gotong royong nilai kebersamaan yang diwujudkan secara nyata dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam pelaksanaan upacara keagamaan dan budaya.
Bali dikenal sebagai pulau seribu pura. Hampir setiap hari, di berbagai penjuru desa dan kota, selalu ada upacara yang dilakukan: dari upacara kecil seperti mebanten di halaman rumah, odalan di pura keluarga, hingga upacara besar seperti ngaben, melasti, dan panca wali krama.
Yang menarik, seluruh proses tersebut dijalankan bukan oleh segelintir orang, melainkan secara kolektif oleh masyarakat adat atau krama banjar.
Mereka akan berkumpul, membagi tugas, dan bekerja sama dengan penuh semangat dan ketulusan.
Tak ada bayaran, tak ada paksaan. Ini adalah bentuk pengabdian spiritual sekaligus bentuk nyata dari solidaritas sosial.
Baca juga:
🔗 Ngayah dan Magisnya Tari Bajra: Persembahan Lelaki di Pura Saat Odalan
Tradisi gotong royong di Bali tidak berjalan tanpa sistem, justru ia tertata sangat rapi melalui struktur organisasi adat seperti banjar, sekaa truna, sekaa gong, dan sekaa banten.
Contohnya dalam upacara ngaben, gotong royong terjadi sejak tahap awal, mulai dari pengumpulan dana melalui sistem ayahan (kontribusi gotong royong), pembuatan sarana upacara seperti bade dan lembu, hingga pelaksanaan hari-H saat ratusan warga turut mengarak jenazah menuju tempat pembakaran.
Para pemuda dari sekaa truna akan bertugas sebagai pengangkat bade dan penata arak-arakan.
Para ibu dari sekaa banten akan membuat ratusan banten dan jajan upacara. Para sesepuh memimpin doa dan ritual.
Semua bergerak seperti sebuah orkestra, menyatu dalam irama yang sakral dan penuh kekhidmatan.
Baca juga:
🔗 Upacara Potong Gigi: Tradisi Sakral Bali
Gotong royong dalam setiap upacara bukan sekadar kerja fisik. Lebih dari itu, ia adalah perwujudan nilai Tri Hita Karana tiga keharmonisan utama dalam hidup masyarakat Bali, harmoni dengan Tuhan (parahyangan), dengan sesama manusia (pawongan), dan dengan alam (palemahan).
Ketika warga gotong royong membersihkan pura, menghias area upacara, atau membawa sesajen ke pantai seperti dalam ritual melasti, mereka sedang membangun koneksi spiritual dengan alam dan sang pencipta. Sekaligus, mereka juga mempererat hubungan sosial antarwarga.
Baca juga:
🔗 Melukat di Tirta Empul: Menyucikan Jiwa dan Merawat Tradisi
Dalam dunia yang semakin individualistik, nilai gotong royong menjadi pelajaran berharga bagi generasi muda.
Di Bali, anak-anak diajak sejak kecil untuk terlibat dalam kegiatan adat dan upacara. Mereka tidak hanya menonton, tetapi belajar langsung membawa sesajen, menari dalam prosesi, hingga membantu menyiapkan perlengkapan.
Dengan cara ini, mereka tidak hanya mewarisi pengetahuan, tetapi juga nilai-nilai luhur seperti tenggang rasa, tanggung jawab sosial, dan rasa memiliki terhadap komunitas. Gotong royong bukan hanya warisan masa lalu, tetapi fondasi masa depan.
Banyak orang datang ke Bali untuk mencari keindahan pantainya, keagungan puranya, dan kekayaan budayanya.
Namun, di balik semua itu, ada kekuatan tersembunyi yang membuat Bali tetap hidup dan bertahan, semangat gotong royong warganya.
Nilai ini bukan hanya perekat sosial, tetapi juga penjaga identitas dan kekuatan sejati Bali.
Ketika dunia luar sibuk mengejar kemajuan teknologi, Bali memberikan contoh bahwa kemajuan juga bisa dicapai lewat kebersamaan, keharmonisan, dan cinta terhadap tradisi.
Dan selama gotong royong terus dijaga, Bali akan tetap menjadi pulau dengan jiwa yang menyala tempat di mana manusia, alam, dan Tuhan hidup dalam satu kesatuan.
Baca juga:
🔗 Pecalang: Penjaga Tradisi dan Keamanan Bali