Gianyar, Bali. Di bawah rindangnya pepohonan suci Pura Tirta Empul, Tampaksiring, puluhan umat Hindu Bali dan wisatawan asing larut dalam ritual melukat prosesi pembersihan diri menggunakan air suci yang telah mengalir sejak abad ke-10.
Ritual ini bukan sekadar mandi fisik, melainkan upaya spiritual untuk membersihkan leteh (kotoran batin) dan memulihkan keseimbangan antara sekala (alam nyata) dan niskala (alam gaib).
Berdasarkan kepercayaan lokal, Tirta Empul tercipta dari mitos pertarungan Dewa Indra melawan Raja Mayadanawa. Untuk menyelamatkan pasukannya yang diracun, Dewa Indra menciptakan mata air penyembuh dengan menancapkan tongkatnya ke tanah.
Kini, 30 pancuran (pecelengan) di kompleks pura menjadi medium utama ritual. Setiap pancuran memiliki fungsi khusus, seperti:
Ritual dimulai dengan persembahan canang sari di pelinggih utama sebagai bentuk bakti kepada leluhur. Peserta kemudian mengenakan kain putih kuningan (pakaian adat) dan memasuki kolam suci dengan tata urutan ketat:
Meski terbuka untuk umum, wisatawan non-Hindu diharapkan mematuhi protokol adat, seperti:
“Melukat bukan atraksi wisata. Ini ruang suci untuk kontemplasi. Wisatawan harus menghormati nilai spiritual di baliknya,” tegas Jero Mangku Putra, pemangku pura setempat.
Ritual ini merefleksikan filosofi Tri Hita Karana harmoni manusia dengan Tuhan, sesama, dan alam. Di tengah gempuran modernisasi, Tirta Empul tetap menjadi penjaga warisan leluhur sekaligus daya tarik pariwisata berbasis budaya.
Data Dinas Pariwisata Gianyar mencatat, 60% pengunjung asing menyatakan ritual melukat memberi mereka perspektif baru tentang hidup berkelanjutan.
Melukat di Tirta Empul bukan sekadar tradisi, melainkan manifestasi kebijaksanaan lokal yang mengajarkan: kesucian lahir-batin hanya tercapai ketika manusia merendahkan diri di hadapan alam dan Sang Pencipta.